Makalah Pendekatan Dalam Pengembangan Kurikulum



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan yang mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara-cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Sedangkan pengembangan kurikulum merupakan bagian yang esensial dalam proses pendidikan. Sasaran yang dicapai bukan semata-mata memproduksi bahan pelajaran melainkan lebih dititik beratkan untuk meningkatkkan kualitas pendidikan. Pengembangan kurikulum merupakan proses faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum. Karena pengembangan kurikulum merupakan alat untuk membantu guru dalam melakukan tugasnya mengajarkan bahan, menarik minat dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan yang dinamis. Oleh karenanya kurikulum harus selalu dikembangkan dan disempurnakan agar sesuai dengan laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta masyarakat yang sedang membangun. Hal ini dimaksudkan agar hasil pengembangan kurikulum tersebut sesuai dengan minat, bakat kebutuhan peserta didik, lingkungan, kebutuhan daerah, sehingga dapat mempelancar program pendidikan salam rangka perwujudan dan pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Dalam pengembangan kurikulum, tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti: politikus, pengusaha, orang tua peserta didik, serta unsur – unsur masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan dengan pendidikan.
B.    Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian pengembangan kurikulum
2.    Apa saja prinsip-prinsip dalam pengembangan kurikulum
3.    Bagaimanakah pendekatan-pendekatan dalam pengembangan kurikulum

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pengembangan Kurikulum
Menurut Geane, Topter dan Alicia bahwa Pengembangan Kurikulum adalah suatu proses dimana partisipasi pada berbagai tingkatan dalam membuat keputusan tentang tujuan, bagaimana tujuan direalisasikan melalui proses belajar mengajar dan apakah tujuan dan alat itu serasi dan efektif.
Pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang merencanakan, menghasilkan suatu alat yang lebih baik dengan didasarkan pada hasil penelitian terhadap kurikulum yang tidak berlaku, sehingga dapat memberikan kondisi kegiatan belajar mengajar yang lebih baik.
Dalam realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum pendidikan Islam tersebut ternyata mengalami perubahan-perubahan paradigma, walau dalam beberapa hal tertentu paradigma sebelumnya tetap dipertahankan hingga sekarang. Beberapa pendapat mengemukakan bahwa pengembangan kurikulum (curriculum development) adalah: the planning of learning opportunities intended to bring about certain desired in pupils, and assessment of the extent to which these change have taken place.
Hal ini menunjukkan bahwa kurikulum adalah perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membawa peserta didik ke arah perubahan-perubahan yang diinginkan dan menilai hingga mana perubahan tersebut telah terjadi pada setiap peserta didik.
Sesungguhnya pengembangan kurikulum adalah proses siklus yang tidak pernah berakhir. Proses kurikulum tersebut terdiri dari empat unsur yaitu:
a.    Tujuan
Mempelajari dan menggambarkan semua sumber pengetahuan dan pertimbangan tentang tujuan-tujuan pengajaran, baik yang berkenan dengan mata pelajaran (subject course) maupun kurikulum secara menyeluruh.
b.    Metode dan material
Mengembangkan dan mencoba menggunakan metode-metode dan material institusi untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan pertimbangan pengajar
c.    Penilaian (assesment)
     Menilai keberhasilan pekerjaan yang telah dikembangkan dalam hubungan dengan tujuan
d.    Balikan (feedback)
Umpan balik dari semua pengalaman yang telah diperoleh, yang pada gilirannya menjadi titik tolak bagi studi selanjutnya.
Dapat disimpulkan bahwa pengembangan kurikulum adalah proses penyusunan kurikulum oleh pengembang kurikulum (curriculum developer) dan kegiatan yang dilakukan agar kurikulum yang dihasilkan dapat menjadi bahan ajar dan acuan yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
B.    Prinsip Prinsip Pengembangan Kurikulum
Nana Syaodih S. membagi prinsip pengembangan kurikulum menjadi dua, yaitu prinsip umum dan khusus.
a.    Prinsip Umum
Pengembangan kurikulum mempunyai lima prinsip umum yakni:
Pertama, relevansi. Ada dua macam relevansi yang harus dimiliki kurikulum, yaitu relevansi ke luar dan relevansi di dalam kurikulum itu sendiri. Relevansi ke luar maksudnya adalah tujuan, isi, dan proses belajar yang tercakup dalam kurikulum hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan masyarakat. Selain itu, kurikulum juga harus memiliki relevansi di dalam, yaitu ada kesesuaian atau konsistensi antara komponen-komponen kurikulum (antara tujuan, isi, proses penyampaian, dan penilaian).
Kedua, fleksibilitas. Kurikulum hendaknya memiliki sifat lentur atau fleksibel. Kurikulum yang baik adalah yang berisi hal-hal solid, tetapi dalam pelaksanaannya memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi daerah, maupun kemampuan, dan latar belakang peserta didik.
Ketiga, kesinambungan. Perkembangan dan proses belajar peserta didik hendaknya berlangsung secara berkesinambungan, tidak terputus-putus ataupun berhenti-henti. Pengembangan kurikulum perlu dilakukan secara serempak, sehingga harus selalu ada komunikasi dan kerja sama antara para pemegang kurikulum SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi.
Keempat, praktis. Kurikulum hendaknya mudah dilaksanakan, menggunakan alat-alat sederhana, dan biaya murah. Prinsip ini juga disebut prinsip efisiensi.
Kelima, efektivitas. Walaupun kurikulum tersebut harus,sederhana,dan murah tetapi keberhasilannya tetap harus diperhatikan.
b.    Prinsip Khusus
Perumusan tujuan pendidikan bersumber pada:
1.    Ketentuan dan kebijaksanaan pemerintah yang dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen lembaga negara mengenai tujuan, serta strategi pembangunan, termasuk di dalamnya Pendidikan
2.    Survey mengenai persepsi orang tua atau masyarakat tentang kebutuhan mereka yang dikirimkan melalui angket atau wawancara
3.    Survey tentang pandangan para ahli dalam bidang-bidang tertentu yang dihimpun melalui angket, wawancara, observasi, dan berbagai media massa
4.    Penelitian

Berkenaan dengan Pemilihan Proses Belajar Mengajar
Yang perlu diperhatikan:
1.    Apakah metode yang digunakan cocok untuk mengajar
2.    Apakah metode memberikan kegiatan yang bervariasi
3.    Apakah metode tersebut dapat menciptakan kegiatan untuk mencapai tujuan kognitif, afektif,psikomotor
4.    Apakah metode mengaktifkan peserta didik, guru, atau keduanya
5.    Apakah metode dapat mendorong berkembangnya kemampuan baru
6.    Apakah metode menimbulkan jalinan kegiatan belajar di sekolah dan rumah
7.    Untuk belajar keterampilan lebih ditekankan learning by doing disamping learning by seeing and knowing.
Berkenaan dengan Pemilihan Media dan Alat Pengajaran
Hal-hal yang dapat dipertimbangkan untuk memilih alat:
1.    Alat atau media pengajaran apa yang diperlukan
2.    Pembuatan alat memperhatikan siapa pembuat, biaya, waktu pembuatan
3.    Bagaimana pengorganisasian alat dalam bahan pelajaran, modul, paket belajar, atau lainnya
4.    Bagaimana pengintegrasian dalam keseluruhan kegiatan belajar
5.    Hasil terbaik dengan menggunakan multimedia.
Prinsip yang Berkenaan dengan Pemilihan Kegiatan Penilaian
1.    Penyusunan alat penilaian (tes)
2.    Perencanaan suatu penilaian
3.    Pengolahan suatu hasil penilaian

C.    Pendekatan-Pendekatan Dalam Pengembangan Kurikulum
Yang dimaksudkan pendekatan adalah cara kerja dengan menerapkan strategi dan metode yang tepat dengan mengikuti langkah-langkah pengembangan yang sistematis agar memperoleh kurikulum yang lebih baik. Setidak-tidaknya ada 4 pendekatan dalam pengembangan kurikulum di antaranya, yaitu: pendekatan subyek akademik, pendekatan humanistik, pendekatan teknologi, dan pendekatan rekonstruksi social, Namun disini kami akan menguraikan tiga pendekatan yakni pendekatan subyek akademik, pendekatan humanistic, dan pendekatan teknologi.
1.    Pendekatan Subjek Akademis
Pendekatan ini adalah pendekatan yang tertua, sejak sekolah yang pertama berdiri kurikulumnya mirip dengan tipe ini. Kurikulum disajikan dalam bagian-bagian ilmu pengetahuan, mata pelajaran yang di intregasikan.
Ciri-ciri ini berhubungan dengan maksud, metode, organisasi dan evaluasi. Pendekatan subjek akademis dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan didasarkan pada sistematisasi disiplin ilmu masing-masing.
Para ahli akademis terus mencoba mengembangkan sebuah kurikulum yang akan melengkapi peserta didik untuk masuk ke dunia pengetahuan, dengan  konsep dasar dan metode untuk mengamati, hubungan antara sesama, analisis data, dan penarikan kesimpulan. Pengembangan kurikulum subjek akademis dilakukan dengan cara menetapkan lebih dahulu mata pelajaran apa yang harus dipelajari peserta didik, yang diperlukan untuk persiapan pengembangan disiplin ilmu.
Prioritas pendekatan ini adalah mengutamakan sifat perencanaan program dan juga mengutamakan penguasaan bahan dan proses dalam disiplin ilmu tertentu.
2.    Pendekatan Humanistik
Kurikulum ini berpusat pada siswa atau peserta didik (student-centered) dan mengutamakan perkembangan afektif peserta didik sebagai prasyarat dan sebagai bagian integral dari proses belajar. Para pendidik humanistic meyakini bahwa kesejahteraan mental dan emosional peserta didik harus dipandang sentral dalam kurikulum, agar proses belajar memberikan hasil yang maksimal.
Kurikulum humanistik mempunyai beberapa karakteristik, berkenaan dengan tujuan, metode, organisasi isi, dan evaluasi. Menurut para pakar humanis kurikulum berfungsi menyediakan pengalaman berharga untuk membantu memperlancar perkembangan pribadi murid. Bagi mereka tujuan pendidikan adalah proses perkembangan pribadi yang dinamis yang diarahkan pada pertumbuhan, integritas, dan otonomi kepribadian, sikap yang sehat terhadap diri sendiri, orang lain, dan belajar. Semua itu merupakan bagian dari cita-cita perkembangan manusia yang teraktualisasi (self actualizing person).
Kurikulum Humanistis memiliki kelemahan, antara lain:
a.    Keterlibatan emosional tidak selamanya berdampak positif bagi perkembangan individual peserta didik.
b.    Meskipun kurikulum ini sangat menekankan individu tapi kenyataannya terdapat keseragaman peserta didik.
c.    Kurikulum ini kurang memperhatikan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.
d.    Dalam kurikulum ini prisip-prinsip psikologis yang ada kurang terhubungkan.

3.    Pendekatan Teknologis
Dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan bertolak dari analisis kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu. Materi yang diajarkan, kriteria evaluasi sukses, dan strategi belajarnya ditetapkan sesuai dengan analisis tugas (job analysis) tersebut.
Kurikulum sebagai model teknologi pendidikan menekankan pada penyusunan program pengajaran dengan menggunakan pendekatan sistem. Program pengajaran ini dapat menggunakan sistem saja, atau juga dengan alat atau media. Selain itu, dapat juga dipadukan. Dalam konteks kurikulum model teknologi, teknologi pendidikan mempunyai dua aspek, yakni hardware berupa alat benda keras seperti proyektor, TV, LCD, radio, dan sebagainya, dan software berupa teknik penyusunan kurikulum, baik secara mikro maupun makro. Teknologi yang telah diterapkan adakalanya berupa PPSI atau Prosedur Pengembangan Sitem Intruksional, pelajaran berprogram dan modul.
Pendekatan teknologis ini sudah tentu mempunyai keterbatasan-keterbatasan, antara lain: ia terbatas pada hal-hal yang bisa dirancang sebelumnya. Karena dari itu pendekatan teknologis tidak selamanya dapat digunakan dalam pembelajaran tertentu. Sebagai contoh pelajaran PAI, kalau kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam hanya sampai kepada penguasaan materi dan keterampilan menjalankan ajaran agama, mungkin bisa mengunakan pendekatan teknologis, sebab proses dan produknya bisa dirancang sebelumnya.
Pesan-pesan pendidikan agama Islam tidak semua dapat didekati secara teknologis. Sebagai contoh: bagaimana membentuk kesadaran keimanan peserta didik terhadap lima Rukun Iman, Masalah kesadaran keimanan banyak mengandung masalah yang abstrak, yang tidak hanya dilihat dari perilaku riil atau konkritnya. kadang kala juga sulit untuk dicapai dan dipantau oleh guru, karena pembentukan keimanan, kesadaran pengamalan ajaran Islam dan berakhlak Islam, sebagaimana tercantum dalam tujuan pendidikan agama Islam, memerlukan proses yang relatif lama, yang sulit dipantau hasil belajarnya jika hanya mengandalkan pada kegiatan belajar-mengajar di kelas dengan pendekatan teknologis. Kerena itu perlu menggunakan pendekatan lain yang bersifat non-teknologis.

BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN

Dunia pendidikan diindonesia sudah berkali-kali mengalami perubahan kurikulum. Setidaknya sudah tujuh kali perubahan kurikulum tercatat dalam sejarah yakni kurikulum 1962, 1968, 1975, 1994, KBK, KTSP dan K13. Namun hingga kini dunia pendidikan kita bisa dikatakan belum mampu melahirkan generasi bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial hal ini dibuktikan dengan kenyataan kian maraknya kasus korupsi, kolusi, manipulasi yang dilakukan oleh orang-orang yang kenyang dunia pendidikan. Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam sebuah sistem pendidikan.
Sedikitnya terdapat empat pendekatan yang bisa digunakan dalam rangka mengembangkan kurikulum, Namun didalam makalah ini kami hanya menguraikan Tiga pendekatan yaitu 1) pendekatan subjek akademik, dimana pendekatan ini dalam menyususn kurikulum atau program pendidikan didasarkan pada sistematisasi disiplin ilmu masing-masing, 2) pendekatan humanistik, dalam pengembangan kurikulum bertolak dari ide memanusiakan manusia. Penciptaan konteks yang memberi peluang manusia untuk menjadi lebih human, untuk mempertinggi harkat manusia merupakan dasar filosofi, dasar teori, dasar evaluasi dan dasar pengmbangan program pendidikan; 3) pendekatan teknologis, dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan bertolak dari analisis kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu. Pembelajaran PAI dikatakan menggunakan pendekatan teknologis, bilamana yang menggunakan pendekatan sistem dalam menganalisis masalah belajar, merencanakan, mengelola, melaksanakan, dan menilainya


DAFTAR PUSTAKA

S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran (Jakarta: Bumi Aksara, 2010)
Nana Syaodih sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004)
Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik ( Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)
Baharuddin & Makin, Pendidikan Humanistik:Konsep, Teori, dan Aplikasi Praktis dalam Dunia Pendidikan (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007)
Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008)
Nana Syaodih sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004)
Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya), 2008

Makalah Ulumul Hadits

BAB I
PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang
Pada masa Rasulullah masih hidup, zaman khulafaur rasyidin dan sebagian besar zaman Umayyah sehingga akhir abad pertama hijrah, hadits-hadits nabi tersebar melalui mulut kemulut (lisan). Ketika itu umat Islam belum mempunyai inisiatif untuk menghimpun hadits-hadits nabi yang bertebaran. Mereka merasa cukup dengan menyimpan dalam hafalan yang terkenal kuat. Dan memang diakui oleh sejarah bahwa kekuatan hafalan para sahabat dan para tabi’in benar-benar sulit tandingannya.
Hadits nabi tersebar ke berbagai wilayah yang luas dibawa oleh para sahabat dan tabi’in ke seluruh penjuru dunia. Para sahabat pun mulai berkurang jumlahnya karena meninggal dunia. Sementara itu, usaha pemalsuan terhadap hadits-hadits nabi makin bertambah banyak, baik yang dibuat oleh orang-orang zindik dan musuh-musuh Islam maupun yang datang dari orang Islam sendiri.
Yang dimaksud dengan pemalsuan hadits ialah menyandarkan sesuatu yang bukan dari Nabi SAW kemudian dikatakan dari Nabi SAW. Berbagai motifasi yang dilakukan mereka dalam hal ini. Ada kalanya kepentingan politik seperti yang dilakukan sekte-sekte tertentu setelah adanya konflik fisik (fitnah) antara pro-Ali dan pro-Muawiyyah, karena fanatisme golongan, madzhab, ekonomi, perdagangan dan lain sebagainya pada masa berikutnya atau unsur kejujuran dan daya ingat para perawi hadits yang berbeda. Oleh karena itu, para ulama bangkit mengadakan riset hadits-hadits yang beredar dan meletakkan dasar kaidah-kaidah yang ketat bagi seorang yang meriwayatkan hadits yang nantinya ilmu itu disebut Ilmu Hadits.

B. Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Pengertian Ulumul Hadits
2.    Apa Macam-Macam Ilmu Hadits
3.    Bagaimana Sejarah Penghimpunan Ilmu Hadits

BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Ulumul Hadist

Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadits di dalam tradisi Ulama Hadits (arabnya : ‘Ulum al-Hadits). Dari segi bahasa ilmu hadist terdiri dari dua kata yakni ilmu dan hadist, secara sederhana ilmu artinya pengetahuan, knowledgr, dan science,  sedangkan hadist secara etimologis, hadist memiliki makna jadid, qorib, dan khabar.  Adapun pengertiannya sebagai berikut:
  1. Jadid, lawan qadim: yang baru (jamaknya hidast, hudatsa, dan huduts);
  2. Qorib: yang dekat, yang bekum lama terjadi;
  3. Khabar: warta, yakni: sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang yang lain (Hasbi Asshiddiqy, 1980 : 20)
Adapun pengertian hadist secara terminologis menurut Ahli Hadist:

اَقْوَالُهُ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَفَعَاله وَأَحْوَالُهُ

“Segala ucapan, segala perbuatan dan segala keadaan atau perilaku Nabi SAW” (Mahmud Thahan, 1978 : 155)
Dengan demikian Ulumul Hadits adalah ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadits Nabi SAW. Para ulama ahli hadist banyak yang memberikan definisi ilmu hadist, di antaranya Ibnu Hajar Al-Asqalani:

الْقَوَاعِد المُعَرِفَةُ بِحَالِ الرَّاوِي وَالْمَرْوِيٌ

“Kaidah-kaidah yang mengetahui keadaan perawi dan yang diriwayatkan”
            
Dari definisi di atas dapat dijelaskan bahwa ilmu hadist adalah ilmu yang membicarakan tentang keadaan atau sifat para perawi dan yang diriwayatkan.
Ilmu hadits yakni ilmu yang berpautan dengan hadits. Apabila dilihat kepada garis besarnya, Ilmu Hadits terbagi menjadi dua macam. Pertama, Ilmu Hadits Riwayat (riwayah). Kedua, Ilmu Hadits Dirayat (dirayah).
a.    Ilmu Hadist Riwayah
Menurut bahasa riwayah dari akar rawa, yarwi, riwayatan yang berarti an-naql = memindahkan dan penukilan, adz-dzikr = penyebutan, dan al-fath = pemintalan. Seolah-olah dapat dikatakan periwayatan adalah memindahkan berita atau menyebutkan berita dari orang-orang tertentu kepada orang lain dengan dipertimbangkan/dipintal kebenarannya.
Objek kajian ilmu Hadis Riwayah adalah Hadis Nabi saw dari segi periwayatan dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:
  1. Cara periwayatan Hadis, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga dari cara penyampaiannya dari seorang perawi ke perawi lain;
  2. Cara pemeliharaan Hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan, dan pembukuannya.
b.    Ilmu Hadist Dirayah
Ilmu Hadist Dirayah, dari segi bahasa kata berasal dari kata dara, yadri, daryan, dirayatan/dirayah = pengetahuan, jadi yang dibahas nanti dari segi pengetahuannya yakni pengetahuan tentang hadist atau pengantar ilmu hadist .
Ibn al-Akfani memberikan Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut: dan Ilmu Hadis yang khusus tentang Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.
a)    Syarat-Syarat Riwayat, Yaitu Penerimaan Para Perawi Terhadap Apa Yang Diriwayatkannya Dengan Menggunakan Cara-Cara Tertentu Dalam Penerimaan Riwayat (Cara-Cara Tahammul Al-Hadits), Seperti:
•    Sama’ (perawi mendengarkan langsung bacaan Hadis dari seorang guru),
•    Qira’ah (murid membacakan catatan Hadis dari gurunya di hadapan guru tersebut),
•    Ijazah (memberi izin kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu Hadis dari seorang ulama tanpa dibacakan sebelumnya kepada seorang untuk diriwayatkan),
•    Kitabah (menuliskan Hadis untuk seseorang),
•    Munawalah, (menyerahkan suatu hadis yang tertulis kepada seseorang untuk diriwayatkan),
•    I’lam (memberitahu seseorang bahwa Hadis-Hadis tertentu adalah koleksinya),
•    Washiyyat (mewasiatkan kepada seseorang koleksi hadis yang dikoleksinya), dan
•    Wajadah (mendapatkan koleksi tertentu tentang Hadis dari seorang guru).
b)    Objek kajian atau pokok bahasan Ilmu Hadis Dirayah ini, berdasarkan definisi di atas, adalah sanad dan matan Hadis.
Pembahasan tentang sanad meliputi:
  1. Segi persambungan sanad (ittishal al-sanad), yaitu bahwa suatu rangkaian sanad Hadis haruslah bersambung mulai dari Sahabat sampai pada Periwayat terakhir yang menuliskan atau membukukan Hadis tersebut; oleh karenanya, tidak dibenarkan suatu rangkaian sanad tersebut yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya atau tersamar:
  2. Segi kepercayaan sanad (tsiqat al-sanad), yatu setiap perawi yang terdapat di dalam sanad suatu Hadis harus memiliki sifat adil dan dhabith (kuat dan cermat hafalan atau dokumentasi Hadisnya );
  3. Segi keselamatan dan kejanggalan (syadz);
  4. Keselamatan dan cacat (‘illat); dan
  5. Tinggi dan rendahnya martabat suatu sanad.
Pembahasan mengenai matan adalah meliputi segi ke-shahih-an atau ke dhaifan-nya. Hal tersebut dapat dilihat dari kesejalananya dengan makna dan tujuan yang terkandung di dalam al-quran, atau selamatnya: 
  1. Dari kejanggalan redaksi (rakakat al-faz);
  2. Dari cacat atau kejanggalan dari maknanya (fasad al- ma’na), karena bertentangan dengan akal dan panca indera, atau dengan kandungan dan makna al-qur’an, atau dengan fakta sejarah; dan
  3. Dari kata-kata asing (gharib), yaitu kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal.
B.    Macam-Macam Ilmu Hadits
Ilmu hadits yakni ilmu yang berpautan dengan hadits. Apabila dilihat kepada garis besarnya, Ilmu Hadits terbagi menjadi dua macam. Pertama, Ilmu Hadits Riwayat (riwayah). Kedua, Ilmu Hadits Dirayat (dirayah). 
1.  Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu Hadits Riwayah ialah.
Artinya: “Ilmu yang menukilkan segala apa yang disandarkan kepada Nabi SAW baik  perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat tubuh anggota ataupun sifat Perangai.”
Ibnu Akfani berkata:
Artinya: “Ilmu hadits yang khusus dengan riwayat ialah: Ilmu yang melengkapi penukilan perkataan-perkataan Nabi SAW perbuatan-perbuatannya, periwayat-periwayat hadits, pengdlabitannnya  dan penguraian lafadz-lafadznya.”
Kebanyakan ulama menta’rifatkan ilmu hadits riwayah sebagaimana:
Artinya: “Ilmu hadits riwayah adalah suatu ilmu untuk mengetahui sabda-sabda nabi, taqrir-taqrir nabi dan sifat-sifat nabi.”
Maudhu’nya (obyeknya) adalah pribadi Nabi SAW yakni perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat Beliau, karena hal-hal inilah yang dibahas didalamnya. Adapun faedah mempelajari ilmu hadits riwayah adalah untuk menghindari adanya penukilan yang salah dari sumbernya yang pertama yaitu Nabi Muhammad SAW.
2.      Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu Hadits Dirayah biasa juga disebut sebagai Ilmu Musthalah al-Hadits, Ilmu Ushul al-Hadits, Ulum al-Hadits, dan Qawa’id al-Hadits at-Tirmidzi mendefinisikan ilmu ini dengan
Artinya: “Undang-undang atau kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan sifat-sifat perawi dan lain-lain.”
Ibnu al-Akfani mendefinisikan ilmu ini  sebagai berikut
Artinya: “Ilmu pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-ayarat, macam-macam dan hukum-hukumnya serta untuk mengetahui keadaan para perawi baik syarat-syaratnya, macam-macam hadits yang diriwayatkan dan segala yang berkaitan dengannya.”
Kebanyakan ulama menta’rifkan Ilmu Hadits Dirayah sebagai berikut:
Artinya: “Ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu untuk mengetahui keadaan sanad dan matan dari jurusan diterima atau ditolak dan yang bersangkutpaut dengan itu.”
Maudhu’nya (objeknya) adalah mengetahui segala yang berpautan dengan pribadi Nabi SAW, agar kita dapat mengetahuinya dan memperoleh kemenangan dunia akhirat. Dengan mempelajari Hadits Dirayah ini, banyak sekali faedah yang diperoleh antara lain: 
  1. Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dan ilmu hadits dari masa ke masa sejak masa Rasul SAW sampai sekarang.
  2.  Dapat mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam  mengumpulkan, memelihara dan meriwayatkan hadits.
  3.  Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadits lebih lanjut.
  4. Dapat mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai dan kriteria-kriteria hadits sebagai pedoman dalam beristimbat.
  5. Dari beberapa faedah diatas apabila diambil intisarinya, maka faedah mempelajari Ilmu Hadits Dirayah adalah untuk mengetahui kualitas sebuah hadits, apakah ia maqbul (diterima) dan mardud (ditolak), baik dilihat dari sudut sanad maupun matannya.
  6. Dengan melihat uraian Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah diatas, tergambar adanya kaitan yang sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini karena setiap ada periwayatan hadits tentu ada kaidah-kaidah yang dipakai dan diperlukan baik dalam penerimaannya maupun penyamapaiannya kepada pihak lain. Sejalan dengan perjalanan Ilmu Hadits Riwayah, Ilmu Hadits Dirayah juga terus berkembang menuju kesempurnaanya, sesuai dengan kebutuhan yang berkaitan langsung dengan perjalanan Hadits Riwayah. Oleh karena itu, tidak mungkin Ilmu Hadits Riwayah berdiri tanpa Ilmu Hadits Dirayah, begitu juga sebaliknya.
C.    Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits
Pada mulanya, Ilmu Hadits memang merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, yang berbicara tentang Hadits Nabi SAW dan para perawinya, seperti Ilmu Hadits al-Shahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma’ wa al-Kuna, dan lain-lain. Penulisan Ilmu-Ilmu Hadits secara parsial dilakukan, khususnya oleh para ulama abad ke-3 H. Umpamanya, Yahya ibnu Ma’in (234 H/848 M) menulis Tarikh al-Rijal, Muhammad ibn Sa’ad (230 H/844 M) menulis Al-‘Ilal dan Al-Kuna, Muslim (261 H/875 M) menulis kitab al- Asma’ wa al-Kuna, Kitab al- Thabaqat dan kitab al- ‘Ilal dan lain-lain.
Ilmu-ilmu yang terpisah dan  bersifat parsial tersebut disebut dengan Ulumul Hadits, karena masing-masing membicarakan tentang hadits dan perawinya. Akan tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya, dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Terhadap ilmu yang sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama Ulumul Hadits, sebagaimanahalnya sebelum disatukan. Jadi penggunaan lafaz jama’ Ulumul Hadits, setelah keadaannya menjadi satu, adalah mengandung makna mufrad atau tunggal, yaitu Ulumul Hadits, karena telah terjadi perubahan makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama –beberapa ilmu yang terpisah- menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus, yang nama lainnya adalah Mushthalah Hadits. Para ulama yang menggunakan nama Ulum al-hadits, diataranya adalah Imam al-Hakim al-Naisaburi (405 H/1014 M), Ibnu al-Shalah (643 H/1246 M), dan ulama kontemporer seperti Zhafar Ahmad ibn Lathif al-Utsmani al-Thawani (1394 H/1974 M) dan Subhi al-Shalih. Sementara itu, beberapa ulama yang datang setelah Ibn al-Shalah, seperti al-‘Iraqi (806 H/1403 M) dan al-Suyuthi (911 H/1505 M), menggunakan lafaz mufrad, yaitu Ilmu al-Hadits, di dalam berbagai karya mereka.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadits di dalam tradisi Ulama Hadits (arabnya : ‘Ulum al-Hadits). Dari segi bahasa ilmu hadist terdiri dari dua kata yakni ilmu dan hadist, secara sederhana ilmu artinya pengetahuan, knowledgr, dan science. Ilmu hadits yakni ilmu yang berpautan dengan hadits. Apabila dilihat kepada garis besarnya, Ilmu Hadits terbagi menjadi dua macam. Pertama, Ilmu Hadits Riwayat (riwayah). Kedua, Ilmu Hadits Dirayat (dirayah).
     Penulisan Ilmu-Ilmu Hadits secara parsial dilakukan, khususnya oleh para ulama abad ke-3 H. Umpamanya, Yahya ibnu Ma’in (234 H/848 M) menulis Tarikh al-Rijal, Muhammad ibn Sa’ad (230 H/844 M) menulis Al-‘Ilal dan Al-Kuna, Muslim (261 H/875 M) menulis kitab al- Asma’ wa al-Kuna, Kitab al- Thabaqat dan kitab al- ‘Ilal dan lain-lain.
Ulumul Hadits, karena masing-masing membicarakan tentang hadits dan perawinya. Akan tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya, dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Terhadap ilmu yang sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama Ulumul Hadits, sebagaimanahalnya sebelum disatukan. Jadi penggunaan lafaz jama’ Ulumul Hadits, setelah keadaannya menjadi satu, adalah mengandung makna mufrad atau tunggal, yaitu Ulumul Hadits, karena telah terjadi perubahan makna lafaz tersebut dari maknanya
 

Menganal Sosok Pendiri Mashab Hanafi


     Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Hanafi merupakan seorang tabi’in yang memiliki wawasan ilmu yang sangat luas. Beliau dikenal pandai dalam memberikan solusi yang sering ditanyakan oleh orang orang kepadanya. Dalam membicarakan hadits Nabi beliau sangat hati hati dan penuh adab sopan santun. Karena sebagian dari cara berperilaku dan beradab sopan santun adalah ketika menuntut ilmu dan sedang mengkaji hadits Nabi maka kita harus tawadhu dan dengan adab sebagai seorang murid yang sedang berada dihadapan gurunya. 

Imam Hanafi dilahirkan di Kufah pada tahun 699 M. Ayahnya, Tsabit, adalah seorang pebisnis yang sukses di Kota Kufah, tidak heran kita mengenal Imam Abu Hanifah sebagai seorang pebisnis yang sukses pula mengikuti jejak sang ayah. Jadi, beliau tumbuh di dalam keluarga yang shaleh dan kaya. Di tengah tekanan peraturan yang represif yang diterapkan gubernur Irak Hajjaj bin Yusuf, Imam Abu Hanifah tetap menjalankan bisnisnya menjual sutra dan pakaian-pakaian lainnya sambil mempelajari ilmu agama.

BELAJAR ILMU AGAMA
     Sebagaimana kebiasaan orang-orang shaleh lainnya, Abu Hanifah juga telah menghafal Alquran sedari kecil. Di masa remaja, Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit mulai menekuni belajar agama dari ulama-ulama terkemuka di Kota Kufah. Ia sempat berjumpa dengan sembilan atau sepuluh orang sahabat Nabi semisal Anas bin Malik, Sahl bin Sa’d, Jabir bin Abdullah, dll.

Saat berusia 16 tahun, Abu Hanifah pergi dari Kufah menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Madinah al-Munawwaroh. Dalam perjalanan ini, ia berguru kepada tokoh tabi’in, Atha bin Abi Rabah, yang merupakan ulama terbaik di kota Mekah.

Jumlah guru Imam Abu Hanifah adalah sebanyak 4000 orang guru. Di antaranya 7 orang dari sahabat Nabi, 93 orang dari kalangan tabi’in, dan sisanya dari kalangan tabi’ at-tabi’in. Jumlah guru yang demikian banyak tidaklah membuat kita heran karena beliau banyak menempuh perjalanan dan berkunjung ke berbagai kota demi memperoleh ilmu agama. Beliau menunaikan haji sebanyak 55 kali, pada musim haji para ulama berkumpul di Masjidil Haram menunaikan haji atau untuk berdakwah kepada kaum muslimin yang datang dari berbagai penjuru negeri.

MENJADI SEORANG ULAMA BESAR
   Imam Abu Hanifah menciptakan suatu metode dalam berijtihad dengan cara melemparkan suatu permasalahan dalam suatu forum, kemudian ia mengungkapkan pendapatnya beserta argumentasinya. Imam Abu Hanifah akan membela pendapatnya di forum tersebut dengan menggunakan dalil dari Alquran dan Hadist ataupun dengan logikanya. Diskusi bisa berlangsung seharian dalam menuntaskan suatu permasalahan. Inilah metode Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan metode yang sangat mengoptimalkan logika.

Metode ini dianggap sangat efektif untuk merangsang logika para murid Imam Abu Hanifah sehingga mereka terbiasa berijtihad. Para murid juga melihat begitu cerdasnya Imam Abu Hanifah dan keutamaan ilmu beliau. Dari majlis beliau lahirlah ulama-ulama besar semisal Abu Yusuf, Muhammad asy-Syaibani, az-Zuffar, dll. dan majlis beliau menjadi sebuah metode dalam kerangka ilmu fikih yang dikenal dengan Madzhab Hanafi dan membuah sebuah kitab yang istimewa, al-Fiqh al-Akbar.

Imam Abu Hanifah beberapa kali ditawari untuk memegang jabatan menjadi seorang hakim di Kufa, namun tawaran tersebut senantiasa beliau tolak. Hal inilah di antara yang menyebabkan beliau dipenjara oleh otoritas Umayyah dan Abbasiah.

WAFATNYA BELIAU
     Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur berkata kepada menterinya, "Aku sedang membutuhkan seorang hakim yang bisa menegakkan keadilan di negara kita ini, dengan kualifikasi dia tidak takut kepada siapapun dalam menegakkan kebenaran, paling memahami Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah. Menurutmu siapa yang layak menduduki posisi ini?", lalu sang menteri menjawab, "Sejauh pengetahuan saya, ulama yang paling tepat menduduki jabatan ini adalah Abu Hanifah An-Nu'man, betapa bahagianya kita jika ia menerima tawaran sebagai hakim ini!", "Apa mungkin seseorang bisa menolak jika kita yang memintanya?" tanya Khalifah lagi, "Sejauh yang kami tahu, dia tidak pernah tunduk kepada permintaan siapapun, tampaknya dia tidak suka menduduki posisi sebagai hakim, maka utuslah seseorang utusan mudah-mudahan hatinya terbuka, dan menerima tawaran ini."

Khalifah kemudian mengutus seorang utusan memintanya untuk menghadap seraya menawarkan posisi sebagai hakim. Abu Hanifah menjawab, "Aku akan istikharah terlebih dahulu, salat 2 rakaat meminta petunjuk kepada Allah, jika hatiku dibuka maka akan aku terima, jika tidak maka masih banyak ahli fikih lain yang bisa dipilih salah satu daintara mereka oleh Amirul Mukminin."

Waktu terus berjalan, ternyata Abu Hanifah tak kunjung menghadap Khalifah, maka ia mengutus seorang utusan memintanya menghadap, Abu Hanifah kemudian pergi menghadap namun ia beritikad untuk menolak jabatan hakim yang ditawarkan kepadanya.
Ternyata Khalifah tidak menyerah begitu saja, ia bersumpah agar Abu Hanifah menerima jabatan sebagai hakim yang ditawarkan, akan tetapi Abu Hanifah tetap menolaknya, seraya berkata, "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku tak pantas untuk menduduki jabatan hakim," lalu Khalifah malah menjawab, "Engkau dusta!" sehingga Abu Hanifah pun berkata, "Sekiranya Anda telah menghukumi saya sebagai pembohong, maka sesungguhnya para pembohong tak layak menjadi hakim, dan sebaiknya Anda jangan mengangkat rakyat Anda yang tidak memenuhi kualifikasi untuk menduduki jabatan yang strategis ini. Wahai Amirul Mukminin, takutlah kepada Allah, dan jangan Anda delegasikan amanah kecuali kepada mereka yang takut kepada Allah, jika saya tidak mendapat jaminan keridhaan, bagaimana saya akan mendapat jaminan terhindar dari murka?". Khalifah lalu memerintahkan mencambuknya seratus cambukan, lalu dijebloskannya ke penjara.
Selang beberapa hari, khalifah mendapat teguran dari seorang kerabatnya, "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Anda telah mencambuk diri Anda dengan seratus ribu pukulan pedang."

Maka khalifah segera memerintahkan untuk membayar 30.000 dirham (sekitar Rp.2,1 miliar) kepada Abu Hanifah sebagai ganti atas yang telah dideritanya, lalu membebaskannya dan mengembalikan ke rumahnya.

Ternyata setelah harta tersebut diberikan, ia menolaknya. Maka khalifah memerintahkan untuk menjebloskan kembali ke penjara. Hanya saja para menteri mengusulkan bahwa Abu Hanifah segera dibebaskan dan cukup diberi dengan penjara rumah, serta melarangnya untuk duduk bersama masyarakat atau keluar dari rumah.

Selang beberapa hari setelah mendapatkan tahanan rumah, ia terkena penyakit, semakin lama semakin parah. Akhirnya ia wafat pada usia 68 tahun. Berita kematiannya segera menyebar, ketika Khalifah mendengar berita itu, ia berkata, "Siapa yang bisa memaafkanku darimu hidup maupun mati?" Salah seorang ulama Kufah berkata, "Cahaya keilmuan telah dimatikan dari kota Kufah, sungguh mereka tidak pernah melihat ulama sekaiber dia selamanya." Yang lain berkata, "Kini mufti dan fakih Irak telah tiada."

Jasadnya dikeluarkan dipanggul di atas punggung kelima muridnya, hingga sampai tempat pemandian, ia dimandikan oleh Al-Hasan bin Imarah, sementara Al-Harawi yang menyiramkan air ke tubuhnya. Ia disalatkan lebih dari 50.000 orang. Dalam enam kali putaran yang ditutup dengan salat oleh anaknya, Hammad. Ia tak dapat dikuburkan kecuali setelah salat Ashar karena sesak, dan banyak tangisan. Ia berwasiat agar jasadnya dikuburkan di Kuburan Al-Khairazan, karena merupakan tanah kubur yang baik dan bukan tanah curian.

PUJIAN ULAMA KEPADA BELIAU
 
Imam Malik
"Subhanallah, Saya belum pernah melihat sosok seperti dia, Demi Allah, jika Abu Hanifah berpendapat bahwa sebuah alat terbuat dari emas, maka pasti ia sanggup mempertengahkan kebenaran atas perkataannya itu."

Imam Syafi'i
"Barangsiapa ingin memperdalam fikih, maka hendaklah menjadi anak asuh bagi Abu Hanifah, Abu Hanifah merupakan orang yang diberi taufik oleh Allah dalam bidang fikih."
"Barangsiapa belum membaca buku-buku Abu Hanifah, maka ia belum memperdalam ilmu, juga belum belajar fikih."

Imam Ahmad bin Hambal
"Subhanallah, ia berada dalam posisi keilmuan, wara' dan zuhud, mementingkan akhirat, yang tidak dilihat oleh seorangpun."

Ibnu Juraij
"Aku mendengar bahwa an-Nu'man (julukan Abu Hanifah) orang yang paling wara', menjaga agama dengan ilmunya, tidak mengedepankan pecinta dunia diatas pecinta akhirat, saya berkeyakinan bahwa dalam dunia keilmuan dia akan memiliki prestasi yang menakjubkan."

Imam Fudhail bin Iyadh
"Abu Hanifah merupakan pribadi fakih yang terkenal dengan kefakihannya, kekayaan yang cukup luas, terkenal dengan kebaikan terhadap setiap orang yang mengganggunya, sangat sabar dalam menuntut ilmu baik siang maupun malam, selalu diam, sedikit berbicara hingga datang kepadanya masalah-masalah halal dan haram, sangat cermat dalam menunjukkan kebenaran, selalu lari dari harta penguasa."


Idiologi Pendidikan Islam




PENDAHULUAN

A. PARADIGMA IDEOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

      Buku ini sengaja mengangkat judul buku Ideologi Pendidikan Islam didasarkan atas empat alasan, yaitu: pertama, istilah terkait dengan istilah “ideology” pada dasarnya. digunakan dengan merujuk pengertiannya yang luas yaitu konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup.
Implikasi penggunaan ideologi dalam pendidikan adalah keharusan adanya konsep cita-cita dan nilai-nilai yang secara eksplisit dirumuskan, dipercayai dan diperjuangkan; kedua, filsafat dan teori pendidikan lebih kental dengan muatan akademisnya sedangkan ideologi agak kurang tuntutan akademisnya, akan tetapi lebih diarah kepada aksi; ketiga, didalam benturan peradaban sebagai dampak globalisasi, terjadi pergumulan ideologi dunia. Sementara Islam yang sarat dengan nilai-nilai universal dan transedental seharusnya dapat ditawarkan sebagai paradigma ideologi alternatif. Terlebih lagi, pendidikan sebagai wahana sangat strategis dalam membangun peradaban alternatif perlu diformulasikan dengan pendekatan ideologis sehingga memiliki daya pengikat dan penggerak untuk aksi. Keempat, di tengah-tengah munculnya semangat Islam progresif saat ini yang berorientasi pada Islam liberal dan humanis perlu ada acuan yang bertolak dari nila-nilai dasar Islam yang sejatinya sangat humanis, sehingga semangat progresivisme dan liberalisme tidak kehilangan akar akidahnya.
Pada prinsipnya, yang dijadikan paradigma ideologi adalah prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersifat universal, yaitu Humanisme-Teosentris. Implementasi ajaran ini dalam praktik kehidupan dan pendidikan dapat fleksibel atau luwes, selama substansinya tetap terpelihara, yaitu: menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana hakikat ajaran Islam, sebagai agama fitrah, memang ditujukan untuk kebutuhan manusia itu sendiri.
     
B. GAMBARAN SISTEMATIKA PEMBAHASAN

      Format ideologi yang diatas, yang menggunakan paradigma humanisme teosentris dalam buku ini dibahas pada bab I, diperjelas dengan mengemukakan makna dan fungsi pendidikan Islam itu sendiri.
Pada bab II, mengenai fitrah dan implikasinya dalam pendidikan sehingga kandungan makna humanisme teosentris tampak semakin utuh dalam konsep fitrah tersebut.
Bab III memuat inti pembahasan yang bersifat ideologis, yakni mengenai dasar dan tujuan pendidikan Islam.
Selanjutnya, pada bab IV membahas isi pendidikan Islam, yang dalam konteks ideologi dapat dianalogkan sebagai jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan.
Pada bab terakhir, membahas transformasi pendidikan Islam, yang membuktikan bahwa ideologi pendidikan Islam bukanlah sesuatu yang kaku dan eksklusif. Sebaliknya, paradigma yang humanisme teosentris yang dikandungnya, operasional dan praksis pendidikan Islam menjadi iklusif, terbuka menerima pembaharuan yang dinamis.

FITRAH MANUSIA DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN

A. PENGERTIAN FITRAH

      Fitrah berasal dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa dan ansyaa yang artinya mencipta. Biasanya kata fathara, khalaqa dan ansyaa digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan pengertian mencipta sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar (blue print) yang perlu penyempurnaan.
B. FITRAH MANUSIA
Konsep fitrah manusia yang mengandung pengertian pola dasar kejadian manusia dapat dijelaskan dengan meninjau: (1) Hakekat wujud manusia, (2) Tujuan penciptaannya, (3) Sumber Daya Insani (SDM), (4) Citra manusia dalam islam.
Dari hakekat wujudnya sebagai makhluk individu dan sosial dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan islam keberadaan pribadi seseorang adalah:
1. Pribadi yang aktivistik karena tanpa aktivitas dalam masyarakat berarti adanya sama dengan tidak ada (wujuduhu ka ‘adamihi), artinya hanya dengan aktivitas, manusia baru diketahui bagaimana pribadinya.
2. Pribadi yang bertanggung jawab secara luas, baik terhadap dirinya, terhadap lingkungannya, maupun terhadap tuhan.
3. Dengan kesimpulan di atas mengeinplisitkan adanya pandangan rekonstruksionisme (rekonstruksi sosial) dalam pendidikan islam melalui individualisasi dan sosialisasi.
1. Tujuan Penciptaan
a. Tujuan utama penciptaan manusia ialah agar manusia beribadah kepada Allah. (Q.S. Az-Zahriyah: 56).
b. Manusia dicipta untuk diperankan sebagai wakil Tuhan di muka bumi. (Q.S. Al-Baqarah: 30, Yunus 14, Al-An’am: 165).
c. Manusia dicipta untuk membentuk masyarakat manusia yang saling kenal-mengenal, hormat menghormati dan tolong-menolong antara satu dengan yang lain (Q.S. Al-Hujurat: 13), tujuan penciptaan yang ketiga ini menegaskan perlunya tanggung jawab bersama dalam menciptakan tatanan kehidupan dunia yang damai.
2. Sumber Daya Manusia
Esensi SDM yang membedakan dengan potensi-potensi yang diberikan kepada makhluk lainnya dan memang sangat tinggi nilainya ialah “kebebasan” dan “hidayah Allah”, yang sesungguhnya inheren dalam fitrah manusia.
3. Citra manusia dalam Islam.
Berdasarkan uraian tentang fitrah manusia ditinjau dari hakekat wujudnya, tujuan penciptaannya dan sumber daya insaninya, tergambar secara jelas bagaimana citra manusia menurut pandangan islam:
a. Islam berwawasan optimistik tentang manusia dan sama menolak sama sekali anggapan pesimistik dari sementara filosof eksistensialis yang menganggap manusia sebagai makhluk yang terdampar dan terlantar dalam hidup dan harus bertanggung jawab sendiri sepenuhnya atas eksistensinya.
b. Perjuangan hidup manusia bukan sekedar trial and error belaka tetapi sudah mempunyai arah dan tujuan hidup yang jelas dan yang telah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Bijaksana. Untuk mencapainya manuia telah diberi pedoman serta kemampuan, yakni akal dan agama.
c. Manusia makhluk yang paling mampu bertanggung jawab karena dikaruniai seperangkat alat untuk dapat bertanggung jawab yaitu kebebasan berpikir berkehendak, dan berbuat.

C. Implikasi Fitrah Manusia Dalam Pendidikan

      1. Pemberian stimulus dan pendidikan demokratis
Manusia ditinjau dari segi fisik-biologis mungkin boleh dikatakan sudah selesai, “Physically and biologically is finished”, tetapi dari segi rohani, spiritual dan moral memang belum selesai, “morally is unfinished”.
Manusia tidak dapat dipandang sebagai makhluk yang reaktif, melainkan responsif, sehingga ia menjadi makhluk yang responsible (bertanggung jawab). Oleh karena itu pendidikan yang sebenarnya adalah pendidikan yang memberikan stimulus dan dilaksanakan secara demokratis.
2. Kebijakan pendidikan perlu pertimbangan empiris.
Dengan bantuan kajian psikologik, implikasi fitrah manusia dalam pendidikan islam dapat disimpulkan bahwa jasa pendidikan dapat diharapkan sejauh menyangkut development dan becoming sesuai dengan citra manusia menurut pandangan islam.
3. Konsep fitrah dan aliran konvergensi
Dari satu sisi, aliran konvergensi dekat dengan konsep fitrah walaupun tidak sama karena perbedaan paradigmanya. Adapun kedekatannya:
Pertama: Islam menegaskan bahwa manusia mempunyai bakat-bakat bawaan atau keturunan, meskipun semua itu merupakan potensi yang mengandung berbagai kemungkinan,
Kedua: Karena masih merupakan potensi maka fitrah itu belum berarti bagi kehidupan manusia sebelum dikembangkan, didayagunakan dan diaktualisasikan.
Namun demikian, dalam Islam, faktor keturunan tidaklah merupakan suatu yang kaku sehingga tidak bisa dipengaruhi. Ia bahkan dapat dilenturkan dalam batas tertentu. Alat untuk melentur dan mengubahnya ialah lingkungan dengan segala anasirnya. Karenanya, lingkungan sekitar ialah aspek pendidikan yang penting. Ini berarti bahwa fitrah tidak berarti kosong atau bersih seperti teori tabula rasa tetapi merupakan pola dasar yang dilengkapi dengan berbagai sumber daya manusia yang potensial


KONSTRUKTIVISME DALAM PENDIDIKAN

      Dewasa ini, dunia pendidikan mendapat sumbangan pemikiran dari teori konstruktivisme sehingga banyak negara mengadakan perubahan-perubahan secara mendasar terhadap sistem dan praktek pendidikan mereka, bahkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pun tak luput dari pengaruh teori ini. Paul Suparno dalam ”filsafat konstruktivisme dalam pendidikan” mencoba mengunai implikasi filsafat konstruktivisme dalam praktek pendidikan. Berikut ini adalah intisari buku tersebut, sekiranya bisa bermanfaat bagi para pendidik dan orang lain.
Sebelum kita melangkah kepada pembahasan “filsafat kontruktivisme dalam pendidikan” terlebih dahulu kita harus mengetahui apa itu konstruktivisme?. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi(bentukan) kita sendiri.
Menurut Von Glaserfeld, pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyatan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyatan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk penetahuan (Betten court, 1989). Maka pewngetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya sesuatu pemahaman yang baru(Piaget, 1971).
Para konstruktivisme menjelaskan bahwa satu-satunya alat/sarana yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui seseorang adalah indranya. Seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungan dengan melihat, mendengar, menjamah, mencium, dan merasakannya. Dari sentuhan indrawi itu seseorang membangun gambaran dunianya. Misalnya, dengan mengamati air, bermain dengan air, mencicipi air, dan menimbang air, seseorang membangun gambaran pengetahuan tentang air. Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang(guru) ke kepala orang lain(murid). Murid sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka(lorsbach dan tobin,1992).
Tampak bahwa pengetahuan lebih menunjuk pada pengalaman seseorang akan dunia dari pada dunia itu sendiri. Tanpa pengalaman itu, seseorang tidak dapat membentuk pengetahuan. Pengalaman tidak harus diartikan sebagai pengalaman fisik, tetapi juga dapat diartikan sebagai pengalaman kognitif dan mental.
Berlandaskan teori piaget dan dipengaruhi filsafat sainsnya Toulmin yang mengatakan bahwa bagian terpenting dari pemahamn seseorang adalah perkembangan konsep secara evolutif, dengan terus seseorang berni mengubah ide-idenya. Posner dkk lantas mengembangkan teori belajar yang dikenal dengan teori perubahan konsep, tahap pertama dalam perubahan konsep di sebut asimilasi, yakni siswa menggunakan konsep yang sudah dimilikinya untuk menghadapi fenomena baru. Namun demikian, suatu ketika siswa dihadapkan fenomena baru yang tak bisa dipecahkan dengan pengetahuan lamanya., maka ia harus membuat perubahan konsep secara radikal, inilah yang disebut tahapan akomodasi.
Piaget (1970) membedakan dua aspek berpikir dalam pembentukan pengetahuan ini: (1) aspek figuratif dan(2) aspek operatif. Aspek berpikir figuratif adalah imaginasi keadaan sesaat dan statis. Ini mencakup persepsi, imaginasi dan gambaran mental seseorang terhadap sesuatu objek atau fenomena. Aspek berpikir operatif lebih berkaitan dengan transformasi dari satu level ke level lain. Ini menyangkut operasi intelektual atau sistem tarnsformasi. Setiap level keadaan dapat dimengerti sebagai akibat dari transformasi tertentu atau sebagai titik tolak bagi transformasi lain. Dengan kat lain, aspek yang lebih esential dari berfikir adalah aspek operatif. Berpikir operatif inilah yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuannya dari satu level tertentu ke level yang lebih tinggi.
Mengapa kita perlu mengkonstruksikan pengetahuan? Mengapa kita perlu mengetahui sesuatu? Menurut Shapiro (1994),tujuan mengetahui sesuatu bukanlah untuk menemukan realitas. Tujuannya lebih adaptif, yaitu untuk mengorganisasikan ”pengetahuan” yang cocok dengan tantangan dan pengalaman-pengalaman baru.
Secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan dirangkum sebagai berikut :
1) Pengetahuan bukanlah merupakn gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakn konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
2) Subjek membentuk skema kognitif,kategori,konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
3) Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsiu membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
Adapun realitas dan kebenarannya, pengetahuan kita bukanlah realitas dalam arti umum. Konstruktivisme menyatakan bahwa kita tidak pernah dapat mengertirealitas sesungguhnya secara antologis.yang kita mengerti adalah struktur konstruksi kita akan suatu objek. Menurut bettern court (1989), memang konstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih hendak melihat bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu. Boileh juga dikatakan bahwa ”realitas” bagi konstruktivisme tidak pernah ada secaara terpisah dari pengamat. Yang diketahui bukan suatu realitas ”di sana” yang berdiri sendiri, melainkan kenyataan sejauh dipahami oleh orang yang menangkapnya (Shapiro, 1994). Menurut shapiro, ada banyak bentuk kenyataan dan masing-masing tergantung pada kerangka dan interaksi pengamat dengan objek yang diamati. Dalam kerangka pemikiran ini, bila kita bertanya, ”apa yang kita ketahui itu memang sungguh kenyataan yang ada?”, konstruktivis akan menjawab, ”kami tidak tahu, itu bukan urusan kami.”
Lalu, bagaimana halnya degan kebenaran? Bagaimana orang tahu bahwa pengetahuan yang kita konstruksikan itu benar? Beberapa paham ilmu pengetahuan mengatakan bahwa pengetahuan itu dianggap benar bila pengetahuan itu sesuai dengan kenyataanya. Misalnya, pengetahuan seseorang bahwa ”angsa itu putih” adalah benar bila dalam kenyataanya memang angsa itu putih dan tidak berwarna lain. Dengan kata lain,orang membuktikan pengetahuaanya dengan membandingkannya dengan realitas ontologisnya.
Adapun hal yang membatasi konstruksi pegetahuan yaitu ada tiga hal (1) konstruksi kita yang lama, (2) domain pengalaman kita, dan (3) jaringan struktur kognitif kita. Hasil dan proses konstruksi pengetahuan kita yang lampau dapat menjadi pembatas konstruksi pengetahuan kita yang mendatang. Unsur-unsur yang kita abstraksikan dari pengalaman yang lampau, cara kita mengabstraksikan dan mengorganisasikan konsep-konsep, aturan main yang kita gunakan untuk mengerti sesuatu , sewmuanya punya pengaruh terhadap pembentukan pengetahuan berikutnya. Misalnya, pengetahuan kita akan hukum newton akan selalu membatasi kita dalam menganalisis suatu gerak.
Pengalaman kita yang terbatas akan sangat membatasi perkembangan pembentukan pengetahuan kita pula. Menurut konstruktivisme, pengalama akan fenomena yang baru akam menjadi unsur yang sangat penting dalam pengembangan pengetahuan kita dan kekurangan dalam hal ini akan membatasi pengetahuan kita pula.
Struktur kognitif merupakan sesuatu sistem yang saling berkaitan. Konsep, gagasan, gambaran, teori, dan sebagainya yang membentuk struktur kognitif saling berhubungan satu dengan yang lain. Inilah yang oleh Toulmin (1972) di sebut ekologi konseptual. Setiap pengetahuan yang baru harus juga cocok degan ekologi konseptual tersebut, karena manusia cenderung untuk menjaga stabilitas ekologin sistem tersebut, kecenderungan ini dapat menghambat pengembangan pengetahuan.
Adapun faktor yang memungkinkan perubahn pengetahuan yaitu, banyaknya situasi yang memaksa atau membantu seseorang untuk mengadakan perubahan dalam pengetahuannya. Perubahan ini, mengembangkan pengetahuan seseorang. Bettencourt (1989) menyebutkan beberapa situasi atau konteks yang memnbantu perubahn,m yaitu (1) konteks tindakan,(2) konteks membuat masuk akal, (3) konteks penjelasan, dan (4) konteks pebenaran (justifikasi)
Bila seseorang harus cepat bertindak atau memecahkan sesuatu secara berencana, ia akan terdorong untuk menganalisis situasi dan persoalan yang dihadapi. Dalam situasi seperti itu ia dapat bertindak secara efisien dan membentuk pengetahuan dan konsep yang baru. Juga bila seseorang berhadapan dengan suatu persoalan atau kejadian baru yang tidak disangka-sangka, ia ditantang untuk mencari arti dan makna hal itu dengan menggunakn gagasan, ide-ide, maupun konsep-konsep yang telah ia punya. Bila konsepnya tidak cocok, lalu ia terpaksa harus mengubah konsepnya. Dalam demikian ia mengembangkan pengetahuan yang baru.

Penutup

Konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia. Manusia mengkonstruksiu pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomen, pengalaman, dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomen yang sesuai. Bagi konstruktivisme, pengetahuan tideak dapat ditransfer degitu saja dari seseorang kepasa yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Tiap orangf harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Dalam proses itu keaktifan seseorang yang ingin tahu amat berperan dalam perkembangan pengetahuannya.
Beberapa faktor seperti keterbatasan pengalaman konstruksi yang terdahulu, dan struktur kognitif seseorang dapat membatasi pembentukan pengetahuan orang tersebut. Sebaliknya, situasi konflik atau anomali yang membuat orang dipaksa untuk berpikir lebih mendalam serta situasi yang menuntut orang untuk membela diri dan menjelaskan lebih rinci, akan mengembangkan pengetahuan seseorang.
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Kanisius 1997. hlm. 18-19
http://ahmad faqih.blogsport.com/mengenal teori konstuktivisme,html
Ibid…, hlm. 20-21
Pendapat tersebut dikutip oleh (Von Glasersfeld dan Kitchener, 1987)
Ibid…, hlm, 21-22
Pendapat Bettencourt, 1989.
Ibid…, hlm. 23

HAKIKAT DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Pendidikan Islam
Ada tiga istilah yang umum digunakan dalam pendidikan Islam, yaitu al-Tarbiyah (pengetahuan tentang ar-rabb), al-Ta’lim (ilmu teoritik, kreativitas, komitmen tinggi dalam mengembangkan ilmu, serta sikap hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah), al-Ta’dib (integrasi ilmu dan amal). (Hasan Langgulung : 1988).
1. Istilah al-Tarbiyah
Kata Tarbiyah berasal dari kata dasar “rabba” (رَبَّى), yurabbi (يُرَبِّى) menjadi “tarbiyah” yang mengandung arti memelihara, membesarkan dan mendidik. Dalam statusnya sebagai khalifah berarti manusia hidup di alam mendapat kuasa dari Allah untuk mewakili dan sekaligus sebagai pelaksana dari peran dan fungsi Allah di alam. Dengan demikian manusia sebagai bagian dari alam memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang bersama alam lingkungannya. Tetapi sebagai khalifah Allah maka manusia mempunyai tugas untuk memadukan pertumbuhan dan perkembangannya bersama dengan alam. (Zuhairini, 1995:121).
2. Istilah al-Ta’lim
Secara etimologi, ta’lim berkonotasi pembelajaran, yaitu semacam proses transfer ilmu pengetahuan. Hakekat ilmu pengetahuan bersumber dari Allah SWT. Adapun proses pembelajaran (ta’lim) secara simbolis dinyatakan dalam informasi al-Qur’an ketika penciptaan Adam as oleh Allah SWT, ia menerima pemahaman tentang konsep ilmu pengetahuan langsung dari penciptanya. Proses pembelajaran ini disajikan dengan menggunakan konsep ta’lim yang sekaligus menjelaskan hubungan antara pengetahuan Adam as dengan Tuhannya. (Jalaluddin, 2001:122).
3. Istilah al-Ta’dib
Menurut al-Attas, istilah yang paling tepat untuk menunjukkan pendidikan Islam adalah al-Ta’dib, konsep ini didasarkan pada hadits Nabi:
اِدَّ بَنِيْ رَبِّى فَأَحْسَنَ تَـأْدِيْبِيْ {رواه العسكرى عن على}
Artinya : “Tuhan telah mendidikku, maka ia sempurnakan pendidikanku”
(HR. al-Askary dari Ali r.a).
Al-Ta’dib berarti pengenalan dan pengetahuan secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya.
Dari bahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam. (Samsul Nizar, 2002:32).
B. Tugas dan Fungsi Pendidikan Islam
Secara umum tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal. Sementara fungsinya adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan berjalan dengan lancar.
Bila dilihat secara operasional, fungsi pendidikan dapat dilihat dari dua bentuk :
1. Alat untuk memperluas, memelihara, dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial serta ide-ide masyarakat dan nasional
2. Alat untuk mengadakan perubahan inovasi dan perkembangan.
C. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
Menetapkan al-Qur’an dan hadits sebagai dasar pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata. Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dibolehkan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan.
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia. Secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran, diri manusia yang rasional, perasaan dan indra, karena itu, pendidikan hendaknya mencakup pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik, aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif, dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah SWT, baik secara pribadi kontinuitas, maupun seluruh umat manusia. (Samsul Nizar, 2002:38).



BAB I 
Format Ideologi Pendidikan Islam

      Pendidikan termasuk wilayah muamalah duniawi-yah, maka menjadi tugas manusia untuk memikirkannya terus menerus seirama dengan perubahan zaman. Prinsip-prinsip pendidikan islam telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW. Dan telah terlihat hasilnya karena beliau mampu mengkomunikasikan islam agama fitrah dengan fitrah manusia.
Mengingat islam memiliki nilai-nilai universal yang fitrah manusia selalu membutuhkannya, maka cukup beralasan kalau pendidikan islam yang sudah menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional dikemas dan ditawarkan kembali dengan pendekatan ideologi untuk memperkuat pilar system pendidikan nasional.

A. Ideologi Pendidikan Islam

      1. Sisi positif dan negatif sebuah ideologi
Ideologi bagi pengikutnya memiliki fungsi positif. Menurut Vago yang dikutip oleh Haidar Nashir, ideologi memiliki fungsi: (1) memberikan legitimasi dan rasionalisasi terhadap perilaku dan hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat; (2) sebagai dasar atau acuan pokok bagi solidaritas sosial dalam kehidupan kelompok atau masyarakat, dan (3) memberikan motivasi bagi para individu mengenai pola-pola tindakan yang pasti dan harus dilakukan.
Menurut golongan positivistik yang dikategotikan ideologi adalah segala penilaian etis, norma, teori-teori metafisik dan keagamaan. Semua yang termasuk ideologi itu merupakan keyakinan yang tidak ilmiah karena tidak rasional dan hanya merupakan keyakinan subyektip. Bila ideologi dikaitkan dengan ilmu pengetahuan, menurut Kuntowijoyo ideologi bersifat subyektif, normatif, dan tertutup sedangkan ilmu pengetahuan memiliki watak obyektif, faktual dan terbuka.
Untuk meminimalkan sisi negatif ideologi perlu dibatasi pada ideologi dalam arti netral dan ideologi terbuka. Ideologi dalam arti netral adalah sistem berfikir, nilai-nilai, dan sikap dasar rohani sebuah gerakan kelompok sosial atau kebudayaan. Dalam hal ini ideologi tergantung sisinya, kalau isinya baik maka ideologi itu baik, begitu pula sebaliknya. Ideologi terbuka adalah ideologi yang hanya menetapkan nilai-nilai dasar, sedang penerjemahannya ke dalam tujuan dan norma-norma sosial/ politik selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip moral dan perkembangan cita-cita masyarakat. Operasinalisasinya tidak ditentukan secara apriori, melainkan harus disepakati secara demokratis.oleh karena it ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter, dan tidak dimaksudkan unntuk melegatimasi kepentingan sekelompok orang.
      
      2. Humanisme teosentris sebagai peradigma ideologi pendidikan islam
Istilah humanisme teosentris sesungguhnya perpaduan antara humanisme dan teosentrisme, namun karena teosentrisme dimaksudkan untuk memberi sifat humanisme, maka menjadi humanisme teosentris.
Karena begitu berharganya konsep humanisme ini, maka dewasa ini terdapat sekurang-kurangnya empat aliran penting yang negklaim sebagai pemilik asli konsep humanisme, yaitu (!) Liberalisme Barat, (2) Marxisme, (3) Eksistensialisme, dan (4) Agama.
Walaupun keempat aliran iru memiliki perbedaan yang tajam bahkan saling bertentangan, namun mereka memiliki titik-titik kesepakatan mengenai prinsip-prinsip dasar kemanusiaan sebagai nilai universal. Dalam hal ini Ali Syari’ati mendiskripsikannya ke dalam tujuh prinsip;
a. Manusia adaalah makhluk asli, artinya ia mempunyai substansi yang mandiri di antara makhluk-makhluk lain, dan memiliki esensi kemuliaan.
b. Manusia adalah mekhluk yang memiliki kehendak bebas yang merupakan kekuatan paling besar dan luar biasa . Kemerdekaan dan kebebasan memilih adalah dua sifat ilahiah yang merupakan ciri menonojol dalam diri manusia.
c. Manusia adalah makhluk yang sadar (berpikir) sebagai karakteristik manusia yang paling menonjol. Sadar berarti manusia dapat memahami realitas alam luar dengan kekuatan berpikir.
d. Manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya sendiri, artinya dia adalah makhluk hidup satu-satunya yang memuliki pengetahuan budaya dan kemampuan membangun perasadaban.
e. Manusia adalah makhluk kreatif, yang menyebabkan manusia mampu menjadikan dirinya makhluk sempurna di depan alam dan dihadapan tuhan.
f. Manusia makhluk yang punya cita-cita dan merindukan sesuatu yang ideal, artinya dia tidak menyerah dan menerima “apa yang ada”, tetapi selalu berusaha megubahnya menjadi “apa yang semestinya”.
g. Manusia adalah makhluk moral, yang hal ini berkaitan dengan masalah nilai (value).
Humanisme yang diangkat menjadi peradigma ideologi pendidikan islam ini pada dasarnya juga berontak dari ketujuh prinsip dasar kemanusiaan tersebut karena sesungguhnya semua itu implicit dalam konsep fitrah manusia sebagaimana yang akan dibahas pada bab II. Akan tetapi humanisme dalam pandangan islam tidak dapat dipisahkan dari prinsip teosentrisme. Di satu sisi keimanan “tauhid” sebagai inti ajaran islam, menjadi pusat seluruh orientasi nilai. Akan tetapi semua itu kembali untuk menusia yang dieksplisitkan dalam tujuan risalah islam “Rahmatan lil’alamin”.
Huanisme islam adalah humanisme teosentrisme karena islam adalah agama yang sangat memetingkan manusia, menghargai harkat dan martabat manusia, dan mengantarkannya ke tingkat kemuliaan yang tingi dengan bimbingan nilai-bilai ilahiah “tauhidi”.

B. Pengertian Pendidikan Islam

      Di dalam Al-Quran dan Hadits sebagai sumber utama ajaran islam dapat ditemukan kata-kata atau istilah-istilah yang pengertiannya terkait dengan pendidikan, yaitu Rabba, ‘allama, addaba.
Dalam bahasa Arab, kata-kata Rabba ‘allama, dan addaba tersebut di atas mengandung pengertian sebagai berikut :
a. Kata kerja rabba yang masdarnya tarbiyahtan memiliki beberapa arti, antara lain mengasuh, mendidik dan memelihara. Di samping kata rabba ada kata-kata yang serumpun dengannya yaitu rabba yang berarti memiliki, memimpin, memperbaiki, menambah. Rabba juga berarti tumbuh atau berkembang.
b. Kata kerja ‘allama yang masdarnya ta’liman berarti mengajar yang lebih bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan, dan keterampilan.
Kata kerja addaba yang masdarnya ta’diban dapat diartikan mendidik yang secara sempit mendidik budi pekerti dan secara lebih luas meningkatkan peradaban. Muhammad Naqib Al-Attas dalam bukunya, konsep Pendidikan islam, dengan gigih mempertahankan penggunaan istilah ta’dib untuk konsep pendidikan islam, bukan tarbiyah, dengan alasan bahwa dalam istilah ta’dib , mencakup wawasan ilmu dan amal yang merupakan esensi pendidikan islam.
Ketiga istilah tersebut (tarbiyah,ta’lim, dan ta’dib) merupakan satu kesatuan yang saling terkait artinya, bila pendidikan dinisbatkan kepada ta’dib ia harus melalui pengajaran (ta’lim) sehingga dengannya diperoleh ilmu. Agar ilmu dapat dipahami, dihayati, dan selanjutnya diamalkan oleh peserta didik perlu bimbingan (tarbiyah).
Istilah tarbiyah masdar dari rabba serumpun dengan akar kata rabb (tuhan). Oleh karenanya tarbiyah yang berarti mendidik dan memelihara implisit di dalamnya istilah rabb (tuhan) sebagai rabb al-‘alamin.
Berkenaan dengan masalah ini ‘Abdur-Rahman an-Nahlawi menjabarkan konsep at-tarbiyah dalam empat unsur;

    1. Memelihara pertumbuhan fitrah manusia
    2. Mengarahkan perkembangan fitrah manusia menuju kesempurnaannya.
    3. Mengembangkan potensi insani (sumber daya manusia) untuk mencapai kualitas tertentu.
    4. Melaksanakan usaha-usaha tersebut secara bertahap sesuai dengan irama perkembangan anak.

Implikasi penggunaan istilah dan konsep tarbiyah dalam pendidikan islam ialah :
1. Pendidikan bersifat humanis-teosentris artinya berorientasi pada fitrah dan kebutuhan dasar manusia, yang diarahkan sesuai dengan sunnah (skenario) tuhan “pencipta”.
2. Pendidikan bernilai ibadah karena tugas pendidikan merupakan bagian tugas dari kekhalifaannya, sedangkan pendidikan yang hakiki adalah Allah “Rabbul’alamin”.
3. Tanggung jawab pendidikan tidak hanya kepada sesama manusia tetapi juga kepada tuhan.
Mengingat betapa luas dan kompleksitasnya risalah islamiyah maka sebenarnya yang dimaksud dengan pengertian pendidikan islam ialah: “Segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kami) sesuai dengan norma islam.”
Pengertian pendidikan islam tersebut sejalan dengan konsepsi baru hasil konperensi dunia pertama tentang pendidikan islam tahun 1977 di Meka, yang menyatakan bahwa pendidikan islam tidak lagi hanya berarti pengajaran teologik atau pengajaran Al-Qur’an, hadits dan fiqih, tetapi memberi arti pendidikan di semua cabang ilmu pengetahuan yang diajarkan dari sudut pandang islam.
Adapaun pengertian pendidikan agama islam ialah “usaha yang lebih khusus ditekankan untuk mengembangkan fitrah keberagaman (religiousitas) subyek didik agar lebih mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran islam.”

C. Fungsi Pendidikan Islam
      
      Dengan pengertian pendidikan islam seperti di atas fungsi pendidikan islam sudah cukup jelas, yaitu memelihara dan mengembangkan fitrah dan sumber daya manusia menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) yakni manusia berkualitas sesuai dengan pandangan islam.
Ditinjau dari segi antropologi budaya dan sosiologi, fungsi pendidikan yang pertama ialah menumbuhkan wawasan yang tepat mengenai manusia dan alam sekitarnya, sehingga dengan demikian dimungkinkan tumbuhnya kemampuan membaca (analisis), kreativitas dalam memajukan hidup dan kedidupannya dan membangun lingkungannya.
Dari kajian antropologi dan sosiologi secara sekilas diatas dapat kita ketahui adanya tiga fungsi pendidikan;

1. Mengembangkan wawasan subjek didik mengenai dirinya dan alam sekitarnya, sehingga dengannya akan timbul kemampuan membaca (analisis), akan mengembangkan kreativitas dan produkstivitas.

2. Melestarikan nilai-nilai insani yang akan menuntun jalan kehidupannya sehingga keberdaannya, baik secara individual maupun sosial, lebih bermakna.

3. Membuka pintu ilmu pengetahuan dan keterampilan yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan dan kemajuan hidup individu maupun sosial.

      Apabila dari kajian antropologi dan sosiologi tersebut dikembalikan pada sudut pandang Al-Qr’an sebagai sumber utama pendidikan islam, maka fungsi pertama dan terutama pendidikan islam adalah memberikan kemampuan membaa (iqra’) pada peserta didik.
Dengan menegembalikan kajian antropologi dan sosiologi ke dalam perspektif al-Qur’an dapat dismpulkan bahwa fungsi pendidikan islam ialah :
    1. Mengembangkan wawasan yang tepat dan benar mengenai jati diri manusia, alam sekitarnya dan mengenai kebesaran ilahi, sehingga tumguh kemampuan membaca (analisis) fenomena alam dan kehidupan serta memahami hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Dengan kemampuan ini akan menumbuhkan kreativitas dan produktivitas sebagai implementasi identifikasi diri pada tuhan “pencipta”.
    2. Menbebaskan manusia dari segala anasir yang dapat merendahkan martabat manusia (fitrah manusia), baik yang datang dari dalam dirinya sendiri maupun dari luar.
    3. Mengembangkan ilmu pengetahuan untuk menopang dan memajukan kehidupan baik individu maupun soaial.
BAB II
Fitrah Manusia Dan Implikasinya Dalam Pendidikan

A. Pengertian Fitrah

      Fitrah berasal dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa dan ansyaa yang artinya mencipta. Biasanya kata fathara, khalaqa dan ansyaa digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan pengertian mencipta sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar (blue print) yang perlu penyempurnaan.
B. Fitrah Manusia
Konsep fitrah manusia yang mengandung pengertian pola dasar kejadian manusia dapat dijelaskan dengan meninjau: (1) Hakekat wujud manusia, (2) Tujuan penciptaannya, (3) Sumber Daya Insani (SDM), (4) Citra manusia dalam islam.
1. Hakekat wujud manusia
      a. Manusia Makhluk Jasmani-Ruhani Yang Paling Mulia
Kemuliaan manusia dapat ditinjau baik dari segi fisik maupun ruhaninya, karena ia adalah makhluk jasmani rohani.
Segi fisik biologis.
Jasad atau fisik manusia asal mulanya dari tanah. Setelah berproses menjadi bentuk manusia dalam Al-Qur’an disebut basyar, (Q.S. al-Hijr; 28) yakni makhluk fisik-biologis. Sebagai makhluk biologis kejadinnya hampir sama dengan makhluk biologis lainnya terutama jenis binatang mamalia, yaitu dari nutfah, ‘alaqah kemudian mudhghah embrio) dan akhirnya terbentuklah janin, yang strukturnya secara gradual lebih sempurna dari binatang. (Q.S. at-: Tin 4 dan al-Mukminun: 13-14).
      b. Manusia makhluk yang suci ketika lahir
Kesucian manusia biasanya dikaitkan dengan kata “fitrah”. Di tinjau dari segi bahasa hal ini sesungguhnya kurang tepat karena pengertian fitrah, sebagaimana telah dijelaskan, ialah asal kejadian atau pola dasar penciptaan. Bila dikaitkan dengan asal kejadiannya, manusia ketika baru lahir memang masih suci dari segala noda dan dosa, walaupun ia lahir dari kedua orang tua yang bergelimang dosa.
      c. Manusia makhluk etis religious
Sebagai rangkaian wujudnya yang suci di kala lahir, tuhan senantiasa akan membimbingnya sengan agama yang sesuai dengan fitrah manusia, Allah berfirman:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (allah) (tetaplah) atas fitrah allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah allah, itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. ar-Rum: 30).
      d. Manusia makhluk individu dan sosial
Karena manusia makhluk individu dan social, maka pendidikan juga sering diartikan sebagai individualisasi dan sosialisasi.
Individualisasi:
Proses pengembangan dan perkembangan individua menjadi pribadi disebut individualisasi, yaitu proses perkembangan seseorang dengan seluruh wujudnya sebagai manusia dengan fitrah dan sumber daya manusianya, sehingga mencapai kualitas tertentu dan mampu bertanggung jawab secara pribadi atas keberadaannya.
Indiviudalisasi memusatkan perhatian secara individual proses pemeliharaan fitrah dan pengembangan SDM.
Sosialisasi
Manusia sebagai makhluk sosial juga berarti setiap individu tidak mungkin hidup layak tanpa terkait dengan kelompok masyarakat manusia lainnya. Itulah sebabnya dalam masyarakat demokratik, masyarakat dan individu saling komplementer. Hal ini dapat diketahui pada:
a. Manusia dipengaruhi oleh masyarakat dalam pembentukan pribadinya.
b. Individu mempengaruhi masyarakat dan bahkan pengaruhnya bisa menimbulkan perubahan besar bagi tatanan masyarakat.
Mengakhiri pembicaraan tentang hakikat wujud manusia menurut pandangan islam, kesimpulan yang diberikan oleh “Abbas Mahmud al-Aqqad kiranya akan memperkuat uraian di atas, yakni :
1. Manusia adalah makhluk mukallaf (makhluk yang diberi amanat/ memikul tanggung jawab).
2. Manusia adalah makhluk yang merupakan gambar tuhan (‘ala suratil-khaliq).
Implikasi pernyataan ini ialah manusia harus siap memikul tanggung jawab atas kekhalifahannya.
Dari hakekat wujudnya sebagai makhluk individu dan sosial dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan islam keberadaan pribadi seseorang adalah:
1. Pribadi yang aktivistik karena tanpa aktivitas dalam masyarakat berarti adanya sama dengan tidak ada (wujuduhu ka ‘adamihi), artinya hanya dengan aktivitas, manusia baru diketahui bagaimana pribadinya.
2. Pribadi yang bertanggung jawab secara luas, baik terhadap dirinya, terhadap lingkungannya, maupun terhadap tuhan.
3. Dengan kesimpulan di atas mengeinplisitkan adanya pandangan rekonstruksionisme (rekonstruksi sosial) dalam pendidikan islam melalui individualisasi dan sosialisasi.
2. Tujuan Penciptaan
a. Tujuan utama penciptaan manusia ialah agar manusia beribadah kepada Allah. (Q.S. Az-Zahriyah: 56).
b. Manusia dicipta untuk diperankan sebagai wakil tuhan di muka bumi. (Q.S. Al-Baqarah: 30, Yunus 14, Al-An’am: 165).
c. Manusia dicipta untuk membentuk masyarakat manusia yang saling kenal-mengenal, hormat menghormati dan tolong-menolong antara satu dengan yang lain (Q.S. Al-Hujurat: 13), tujuan penciptaan yang ketiga ini menegaskan perlunya tanggung jawab bersama dalam menciptakan tatanan kehidupan dunia yang damai.
3. Sumber Daya Manusia
Esensi SDM yang membedakan dengan potensi-potensi yang diberikan kepada makhluk lainnya dan memang sangat tinggi nilainya ialah “kebebasan” dan “hidayah Allah”, yang sesungguhnya inheren dalam fitrah manusia.
4. Citra manusia dalam islam.
Berdasarkan uraian tentang fitrah manusia ditinjau dari hakekat wujudnya, tujuan penciptaannya dan sumber daya insaninya, tergambar secara jelas bagaimana citra manusia menurut pandangan islam:
a. Islam berwawasan optimistik tentang manusia dan sama menolak sama sekali anggapan pesimistik dari sementara filosof eksistensialis yang menganggap manusia sebagai makhluk yang terdampar dan terlantar dalam hidup dan harus bertanggung jawab sendiri sepenuhnya atas eksistensinya.
b. Perjuangan hidup manusia bukan sekedar trial and error belaka tetapi sudah mempunyai arah dan tujuan hidup yang jelas dan yang telah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Bijaksana. Untuk mencapainya manuia telah diberi pedoman serta kemampuan, yakni akal dan agama.
c. Manusia makhluk yang paling mampu bertanggung jawab karena dikaruniai seperangkat alat untuk dapat bertanggung jawab yaitu kebebasan berpikir berkehendak, dan berbuat.

C. Implikasi Fitrah Manusia Dalam Pendidikan

1. Pemberian stimulus dan pendidikan demokratis
Manusia ditinjau dari segi fisik-biologis mungkin boleh dikatakan sudah selesai, “Physically and biologically is finished”, tetapi dari segi rohani, spiritual dan moral memang belum selesai, “morally is unfinished”.
Manusia tidak dapat dipandang sebagai makhluk yang reaktif, melainkan responsif, sehingga ia menjadi makhluk yang responsible (bertanggung jawab). Oleh karena itu pendidikan yang sebenarnya adalah pendidikan yang memberikan stimulus dan dilaksanakan secara demokratis.
2. Kebijakan pendidikan perlu pertimbangan empiris.
Dengan bantuan kajian psikologik, implikasi fitrah manusia dalam pendidikan islam dapat disimpulkan bahwa jasa pendidikan dapat diharapkan sejauh menyangkut development dan becoming sesuai dengan citra manusia menurut pandangan islam