PENDAHULUAN
A. PARADIGMA
IDEOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
Buku ini sengaja mengangkat judul buku Ideologi Pendidikan
Islam didasarkan atas empat alasan, yaitu: pertama, istilah terkait dengan
istilah “ideology” pada dasarnya. digunakan dengan merujuk pengertiannya yang
luas yaitu konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat yang memberikan arah
dan tujuan untuk kelangsungan hidup.
Implikasi penggunaan ideologi dalam pendidikan adalah
keharusan adanya konsep cita-cita dan nilai-nilai yang secara eksplisit
dirumuskan, dipercayai dan diperjuangkan; kedua, filsafat dan teori pendidikan
lebih kental dengan muatan akademisnya sedangkan ideologi agak kurang tuntutan
akademisnya, akan tetapi lebih diarah kepada aksi; ketiga, didalam benturan
peradaban sebagai dampak globalisasi, terjadi pergumulan ideologi dunia. Sementara
Islam yang sarat dengan nilai-nilai universal dan transedental seharusnya dapat
ditawarkan sebagai paradigma ideologi alternatif. Terlebih lagi, pendidikan
sebagai wahana sangat strategis dalam membangun peradaban alternatif perlu
diformulasikan dengan pendekatan ideologis sehingga memiliki daya pengikat dan
penggerak untuk aksi. Keempat, di tengah-tengah munculnya semangat Islam
progresif saat ini yang berorientasi pada Islam liberal dan humanis perlu ada
acuan yang bertolak dari nila-nilai dasar Islam yang sejatinya sangat humanis,
sehingga semangat progresivisme dan liberalisme tidak kehilangan akar
akidahnya.
Pada prinsipnya, yang dijadikan paradigma ideologi adalah
prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersifat universal, yaitu
Humanisme-Teosentris. Implementasi ajaran ini dalam praktik kehidupan dan
pendidikan dapat fleksibel atau luwes, selama substansinya tetap terpelihara,
yaitu: menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana hakikat ajaran
Islam, sebagai agama fitrah, memang ditujukan untuk kebutuhan manusia itu
sendiri.
B. GAMBARAN
SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Format ideologi yang diatas, yang menggunakan paradigma
humanisme teosentris dalam buku ini dibahas pada bab I, diperjelas dengan
mengemukakan makna dan fungsi pendidikan Islam itu sendiri.
Pada bab II, mengenai fitrah dan implikasinya dalam
pendidikan sehingga kandungan makna humanisme teosentris tampak semakin utuh
dalam konsep fitrah tersebut.
Bab III memuat inti pembahasan yang bersifat ideologis,
yakni mengenai dasar dan tujuan pendidikan Islam.
Selanjutnya, pada bab IV membahas isi pendidikan Islam, yang
dalam konteks ideologi dapat dianalogkan sebagai jalan yang harus dilalui untuk
mencapai tujuan.
Pada bab terakhir, membahas transformasi pendidikan Islam,
yang membuktikan bahwa ideologi pendidikan Islam bukanlah sesuatu yang kaku dan
eksklusif. Sebaliknya, paradigma yang humanisme teosentris yang dikandungnya,
operasional dan praksis pendidikan Islam menjadi iklusif, terbuka menerima
pembaharuan yang dinamis.
FITRAH MANUSIA DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN
A. PENGERTIAN FITRAH
Fitrah berasal dari kata fathara yang sepadan dengan kata
khalaqa dan ansyaa yang artinya mencipta. Biasanya kata fathara, khalaqa dan
ansyaa digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan pengertian mencipta sesuatu
yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar (blue print) yang
perlu penyempurnaan.
B. FITRAH MANUSIA
Konsep fitrah manusia yang mengandung pengertian pola dasar
kejadian manusia dapat dijelaskan dengan meninjau: (1) Hakekat wujud manusia,
(2) Tujuan penciptaannya, (3) Sumber Daya Insani (SDM), (4) Citra manusia dalam
islam.
Dari hakekat wujudnya sebagai makhluk individu dan sosial
dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan islam keberadaan pribadi seseorang
adalah:
1. Pribadi yang aktivistik karena tanpa aktivitas dalam
masyarakat berarti adanya sama dengan tidak ada (wujuduhu ka ‘adamihi), artinya
hanya dengan aktivitas, manusia baru diketahui bagaimana pribadinya.
2. Pribadi yang bertanggung jawab secara luas, baik terhadap
dirinya, terhadap lingkungannya, maupun terhadap tuhan.
3. Dengan kesimpulan di atas mengeinplisitkan adanya
pandangan rekonstruksionisme (rekonstruksi sosial) dalam pendidikan islam
melalui individualisasi dan sosialisasi.
1. Tujuan Penciptaan
a. Tujuan utama penciptaan manusia ialah agar manusia
beribadah kepada Allah. (Q.S. Az-Zahriyah: 56).
b. Manusia dicipta untuk diperankan sebagai wakil Tuhan di
muka bumi. (Q.S. Al-Baqarah: 30, Yunus 14, Al-An’am: 165).
c. Manusia dicipta untuk membentuk masyarakat manusia yang saling
kenal-mengenal, hormat menghormati dan tolong-menolong antara satu dengan yang
lain (Q.S. Al-Hujurat: 13), tujuan penciptaan yang ketiga ini menegaskan
perlunya tanggung jawab bersama dalam menciptakan tatanan kehidupan dunia yang
damai.
2. Sumber Daya Manusia
Esensi SDM yang membedakan dengan potensi-potensi yang
diberikan kepada makhluk lainnya dan memang sangat tinggi nilainya ialah
“kebebasan” dan “hidayah Allah”, yang sesungguhnya inheren dalam fitrah
manusia.
3. Citra manusia dalam Islam.
Berdasarkan uraian tentang fitrah manusia ditinjau dari
hakekat wujudnya, tujuan penciptaannya dan sumber daya insaninya, tergambar
secara jelas bagaimana citra manusia menurut pandangan islam:
a. Islam berwawasan optimistik tentang manusia dan sama
menolak sama sekali anggapan pesimistik dari sementara filosof eksistensialis
yang menganggap manusia sebagai makhluk yang terdampar dan terlantar dalam
hidup dan harus bertanggung jawab sendiri sepenuhnya atas eksistensinya.
b. Perjuangan hidup manusia bukan sekedar trial and error
belaka tetapi sudah mempunyai arah dan tujuan hidup yang jelas dan yang telah
digariskan oleh Tuhan Yang Maha Bijaksana. Untuk mencapainya manuia telah
diberi pedoman serta kemampuan, yakni akal dan agama.
c. Manusia makhluk yang paling mampu bertanggung jawab
karena dikaruniai seperangkat alat untuk dapat bertanggung jawab yaitu
kebebasan berpikir berkehendak, dan berbuat.
C. Implikasi Fitrah Manusia Dalam Pendidikan
1. Pemberian stimulus dan pendidikan demokratis
Manusia ditinjau dari segi fisik-biologis mungkin boleh
dikatakan sudah selesai, “Physically and biologically is finished”, tetapi dari
segi rohani, spiritual dan moral memang belum selesai, “morally is unfinished”.
Manusia tidak dapat dipandang sebagai makhluk yang reaktif,
melainkan responsif, sehingga ia menjadi makhluk yang responsible (bertanggung
jawab). Oleh karena itu pendidikan yang sebenarnya adalah pendidikan yang
memberikan stimulus dan dilaksanakan secara demokratis.
2. Kebijakan pendidikan perlu pertimbangan empiris.
Dengan bantuan kajian psikologik, implikasi fitrah manusia
dalam pendidikan islam dapat disimpulkan bahwa jasa pendidikan dapat diharapkan
sejauh menyangkut development dan becoming sesuai dengan citra manusia menurut
pandangan islam.
3. Konsep fitrah dan aliran konvergensi
Dari satu sisi, aliran konvergensi dekat dengan konsep
fitrah walaupun tidak sama karena perbedaan paradigmanya. Adapun kedekatannya:
Pertama: Islam menegaskan bahwa manusia mempunyai
bakat-bakat bawaan atau keturunan, meskipun semua itu merupakan potensi yang
mengandung berbagai kemungkinan,
Kedua: Karena masih merupakan potensi maka fitrah itu belum
berarti bagi kehidupan manusia sebelum dikembangkan, didayagunakan dan
diaktualisasikan.
Namun demikian, dalam Islam, faktor keturunan tidaklah
merupakan suatu yang kaku sehingga tidak bisa dipengaruhi. Ia bahkan dapat
dilenturkan dalam batas tertentu. Alat untuk melentur dan mengubahnya ialah
lingkungan dengan segala anasirnya. Karenanya, lingkungan sekitar ialah aspek
pendidikan yang penting. Ini berarti bahwa fitrah tidak berarti kosong atau
bersih seperti teori tabula rasa tetapi merupakan pola dasar yang dilengkapi
dengan berbagai sumber daya manusia yang potensial
KONSTRUKTIVISME DALAM PENDIDIKAN
Dewasa ini, dunia pendidikan mendapat sumbangan pemikiran
dari teori konstruktivisme sehingga banyak negara mengadakan
perubahan-perubahan secara mendasar terhadap sistem dan praktek pendidikan
mereka, bahkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pun tak luput dari pengaruh
teori ini. Paul Suparno dalam ”filsafat konstruktivisme dalam pendidikan”
mencoba mengunai implikasi filsafat konstruktivisme dalam praktek pendidikan.
Berikut ini adalah intisari buku tersebut, sekiranya bisa bermanfaat bagi para
pendidik dan orang lain.
Sebelum kita melangkah kepada pembahasan “filsafat
kontruktivisme dalam pendidikan” terlebih dahulu kita harus mengetahui apa itu
konstruktivisme?. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang
menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi(bentukan) kita sendiri.
Menurut Von Glaserfeld, pengetahuan bukanlah suatu tiruan
dari kenyatan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan
yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif
kenyatan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, kategori,
konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk penetahuan (Betten court,
1989). Maka pewngetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi
merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia
sejauh dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap
kali mengadakan reorganisasi karena adanya sesuatu pemahaman yang baru(Piaget,
1971).
Para konstruktivisme menjelaskan bahwa satu-satunya
alat/sarana yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui seseorang adalah
indranya. Seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungan dengan melihat,
mendengar, menjamah, mencium, dan merasakannya. Dari sentuhan indrawi itu
seseorang membangun gambaran dunianya. Misalnya, dengan mengamati air, bermain
dengan air, mencicipi air, dan menimbang air, seseorang membangun gambaran
pengetahuan tentang air. Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada
dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan
begitu saja dari otak seseorang(guru) ke kepala orang lain(murid). Murid
sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan
terhadap pengalaman-pengalaman mereka(lorsbach dan tobin,1992).
Tampak bahwa pengetahuan lebih menunjuk pada pengalaman
seseorang akan dunia dari pada dunia itu sendiri. Tanpa pengalaman itu,
seseorang tidak dapat membentuk pengetahuan. Pengalaman tidak harus diartikan
sebagai pengalaman fisik, tetapi juga dapat diartikan sebagai pengalaman
kognitif dan mental.
Berlandaskan teori piaget dan dipengaruhi filsafat sainsnya
Toulmin yang mengatakan bahwa bagian terpenting dari pemahamn seseorang adalah
perkembangan konsep secara evolutif, dengan terus seseorang berni mengubah
ide-idenya. Posner dkk lantas mengembangkan teori belajar yang dikenal dengan
teori perubahan konsep, tahap pertama dalam perubahan konsep di sebut
asimilasi, yakni siswa menggunakan konsep yang sudah dimilikinya untuk
menghadapi fenomena baru. Namun demikian, suatu ketika siswa dihadapkan fenomena
baru yang tak bisa dipecahkan dengan pengetahuan lamanya., maka ia harus
membuat perubahan konsep secara radikal, inilah yang disebut tahapan akomodasi.
Piaget (1970) membedakan dua aspek berpikir dalam
pembentukan pengetahuan ini: (1) aspek figuratif dan(2) aspek operatif. Aspek
berpikir figuratif adalah imaginasi keadaan sesaat dan statis. Ini mencakup
persepsi, imaginasi dan gambaran mental seseorang terhadap sesuatu objek atau
fenomena. Aspek berpikir operatif lebih berkaitan dengan transformasi dari satu
level ke level lain. Ini menyangkut operasi intelektual atau sistem
tarnsformasi. Setiap level keadaan dapat dimengerti sebagai akibat dari
transformasi tertentu atau sebagai titik tolak bagi transformasi lain. Dengan
kat lain, aspek yang lebih esential dari berfikir adalah aspek operatif.
Berpikir operatif inilah yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan
pengetahuannya dari satu level tertentu ke level yang lebih tinggi.
Mengapa kita perlu mengkonstruksikan pengetahuan? Mengapa
kita perlu mengetahui sesuatu? Menurut Shapiro (1994),tujuan mengetahui sesuatu
bukanlah untuk menemukan realitas. Tujuannya lebih adaptif, yaitu untuk
mengorganisasikan ”pengetahuan” yang cocok dengan tantangan dan
pengalaman-pengalaman baru.
Secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan
dirangkum sebagai berikut :
1) Pengetahuan bukanlah merupakn gambaran dunia kenyataan
belaka, tetapi selalu merupakn konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
2) Subjek membentuk skema kognitif,kategori,konsep, dan struktur
yang perlu untuk pengetahuan.
3) Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang.
Struktur konsepsiu membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam
berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
Adapun realitas dan kebenarannya, pengetahuan kita bukanlah
realitas dalam arti umum. Konstruktivisme menyatakan bahwa kita tidak pernah
dapat mengertirealitas sesungguhnya secara antologis.yang kita mengerti adalah
struktur konstruksi kita akan suatu objek. Menurut bettern court (1989), memang
konstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih hendak melihat
bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu. Boileh juga dikatakan bahwa
”realitas” bagi konstruktivisme tidak pernah ada secaara terpisah dari
pengamat. Yang diketahui bukan suatu realitas ”di sana” yang berdiri sendiri,
melainkan kenyataan sejauh dipahami oleh orang yang menangkapnya (Shapiro,
1994). Menurut shapiro, ada banyak bentuk kenyataan dan masing-masing
tergantung pada kerangka dan interaksi pengamat dengan objek yang diamati.
Dalam kerangka pemikiran ini, bila kita bertanya, ”apa yang kita ketahui itu
memang sungguh kenyataan yang ada?”, konstruktivis akan menjawab, ”kami tidak
tahu, itu bukan urusan kami.”
Lalu, bagaimana halnya degan kebenaran? Bagaimana orang tahu
bahwa pengetahuan yang kita konstruksikan itu benar? Beberapa paham ilmu
pengetahuan mengatakan bahwa pengetahuan itu dianggap benar bila pengetahuan
itu sesuai dengan kenyataanya. Misalnya, pengetahuan seseorang bahwa ”angsa itu
putih” adalah benar bila dalam kenyataanya memang angsa itu putih dan tidak
berwarna lain. Dengan kata lain,orang membuktikan pengetahuaanya dengan
membandingkannya dengan realitas ontologisnya.
Adapun hal yang membatasi konstruksi pegetahuan yaitu ada
tiga hal (1) konstruksi kita yang lama, (2) domain pengalaman kita, dan (3)
jaringan struktur kognitif kita. Hasil dan proses konstruksi pengetahuan kita
yang lampau dapat menjadi pembatas konstruksi pengetahuan kita yang mendatang.
Unsur-unsur yang kita abstraksikan dari pengalaman yang lampau, cara kita
mengabstraksikan dan mengorganisasikan konsep-konsep, aturan main yang kita
gunakan untuk mengerti sesuatu , sewmuanya punya pengaruh terhadap pembentukan
pengetahuan berikutnya. Misalnya, pengetahuan kita akan hukum newton akan
selalu membatasi kita dalam menganalisis suatu gerak.
Pengalaman kita yang terbatas akan sangat membatasi
perkembangan pembentukan pengetahuan kita pula. Menurut konstruktivisme,
pengalama akan fenomena yang baru akam menjadi unsur yang sangat penting dalam
pengembangan pengetahuan kita dan kekurangan dalam hal ini akan membatasi
pengetahuan kita pula.
Struktur kognitif merupakan sesuatu sistem yang saling
berkaitan. Konsep, gagasan, gambaran, teori, dan sebagainya yang membentuk
struktur kognitif saling berhubungan satu dengan yang lain. Inilah yang oleh
Toulmin (1972) di sebut ekologi konseptual. Setiap pengetahuan yang baru harus
juga cocok degan ekologi konseptual tersebut, karena manusia cenderung untuk
menjaga stabilitas ekologin sistem tersebut, kecenderungan ini dapat menghambat
pengembangan pengetahuan.
Adapun faktor yang memungkinkan perubahn pengetahuan yaitu,
banyaknya situasi yang memaksa atau membantu seseorang untuk mengadakan
perubahan dalam pengetahuannya. Perubahan ini, mengembangkan pengetahuan
seseorang. Bettencourt (1989) menyebutkan beberapa situasi atau konteks yang
memnbantu perubahn,m yaitu (1) konteks tindakan,(2) konteks membuat masuk akal,
(3) konteks penjelasan, dan (4) konteks pebenaran (justifikasi)
Bila seseorang harus cepat bertindak atau memecahkan sesuatu
secara berencana, ia akan terdorong untuk menganalisis situasi dan persoalan
yang dihadapi. Dalam situasi seperti itu ia dapat bertindak secara efisien dan
membentuk pengetahuan dan konsep yang baru. Juga bila seseorang berhadapan
dengan suatu persoalan atau kejadian baru yang tidak disangka-sangka, ia
ditantang untuk mencari arti dan makna hal itu dengan menggunakn gagasan,
ide-ide, maupun konsep-konsep yang telah ia punya. Bila konsepnya tidak cocok,
lalu ia terpaksa harus mengubah konsepnya. Dalam demikian ia mengembangkan
pengetahuan yang baru.
Penutup
Konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil
konstruksi manusia. Manusia mengkonstruksiu pengetahuan mereka melalui
interaksi mereka dengan objek, fenomen, pengalaman, dan lingkungan mereka.
Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomen yang sesuai. Bagi
konstruktivisme, pengetahuan tideak dapat ditransfer degitu saja dari seseorang
kepasa yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing
orang. Tiap orangf harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri. Pengetahuan bukan
sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus.
Dalam proses itu keaktifan seseorang yang ingin tahu amat berperan dalam
perkembangan pengetahuannya.
Beberapa faktor seperti keterbatasan pengalaman konstruksi
yang terdahulu, dan struktur kognitif seseorang dapat membatasi pembentukan
pengetahuan orang tersebut. Sebaliknya, situasi konflik atau anomali yang
membuat orang dipaksa untuk berpikir lebih mendalam serta situasi yang menuntut
orang untuk membela diri dan menjelaskan lebih rinci, akan mengembangkan
pengetahuan seseorang.
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan,
Kanisius 1997. hlm. 18-19
http://ahmad faqih.blogsport.com/mengenal teori
konstuktivisme,html
Ibid…, hlm. 20-21
Pendapat tersebut dikutip oleh (Von Glasersfeld dan
Kitchener, 1987)
Ibid…, hlm, 21-22
Pendapat Bettencourt, 1989.
Ibid…, hlm. 23
HAKIKAT DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Pendidikan Islam
Ada tiga istilah yang umum digunakan dalam pendidikan Islam,
yaitu al-Tarbiyah (pengetahuan tentang ar-rabb), al-Ta’lim (ilmu teoritik,
kreativitas, komitmen tinggi dalam mengembangkan ilmu, serta sikap hidup yang
menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah), al-Ta’dib (integrasi ilmu dan amal).
(Hasan Langgulung : 1988).
1. Istilah al-Tarbiyah
Kata Tarbiyah berasal dari kata dasar “rabba” (رَبَّى), yurabbi (يُرَبِّى) menjadi “tarbiyah”
yang mengandung arti memelihara, membesarkan dan mendidik. Dalam statusnya
sebagai khalifah berarti manusia hidup di alam mendapat kuasa dari Allah untuk
mewakili dan sekaligus sebagai pelaksana dari peran dan fungsi Allah di alam.
Dengan demikian manusia sebagai bagian dari alam memiliki potensi untuk tumbuh
dan berkembang bersama alam lingkungannya. Tetapi sebagai khalifah Allah maka
manusia mempunyai tugas untuk memadukan pertumbuhan dan perkembangannya bersama
dengan alam. (Zuhairini, 1995:121).
2. Istilah al-Ta’lim
Secara etimologi, ta’lim berkonotasi pembelajaran, yaitu
semacam proses transfer ilmu pengetahuan. Hakekat ilmu pengetahuan bersumber
dari Allah SWT. Adapun proses pembelajaran (ta’lim) secara simbolis dinyatakan
dalam informasi al-Qur’an ketika penciptaan Adam as oleh Allah SWT, ia menerima
pemahaman tentang konsep ilmu pengetahuan langsung dari penciptanya. Proses
pembelajaran ini disajikan dengan menggunakan konsep ta’lim yang sekaligus
menjelaskan hubungan antara pengetahuan Adam as dengan Tuhannya. (Jalaluddin,
2001:122).
3. Istilah al-Ta’dib
Menurut al-Attas, istilah yang paling tepat untuk
menunjukkan pendidikan Islam adalah al-Ta’dib, konsep ini didasarkan pada
hadits Nabi:
اِدَّ بَنِيْ رَبِّى فَأَحْسَنَ
تَـأْدِيْبِيْ {رواه العسكرى عن على}
Artinya : “Tuhan telah mendidikku, maka ia sempurnakan
pendidikanku”
(HR. al-Askary dari Ali r.a).
Al-Ta’dib berarti pengenalan dan pengetahuan secara
berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat
yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan
ini pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah pengenalan dan
pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya.
Dari bahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat
mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam. (Samsul Nizar, 2002:32).
B. Tugas dan Fungsi Pendidikan Islam
Secara umum tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan
mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap
kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal. Sementara fungsinya
adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan berjalan
dengan lancar.
Bila dilihat secara operasional, fungsi pendidikan dapat
dilihat dari dua bentuk :
1. Alat untuk memperluas, memelihara, dan menghubungkan
tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial serta ide-ide
masyarakat dan nasional
2. Alat untuk mengadakan perubahan inovasi dan perkembangan.
C. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
Menetapkan al-Qur’an dan hadits sebagai dasar pendidikan
Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan
semata. Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar tersebut
dapat diterima oleh nalar manusia dan dibolehkan dalam sejarah atau pengalaman
kemanusiaan.
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan
pertumbuhan kepribadian manusia. Secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan
melalui latihan jiwa, akal pikiran, diri manusia yang rasional, perasaan dan
indra, karena itu, pendidikan hendaknya mencakup pengembangan seluruh aspek
fitrah peserta didik, aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah
dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif, dan mendorong semua aspek
tersebut berkembang ke arah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir
pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada
Allah SWT, baik secara pribadi kontinuitas, maupun seluruh umat manusia.
(Samsul Nizar, 2002:38).
BAB I
Format Ideologi Pendidikan Islam
Pendidikan termasuk wilayah muamalah duniawi-yah, maka
menjadi tugas manusia untuk memikirkannya terus menerus seirama dengan
perubahan zaman. Prinsip-prinsip pendidikan islam telah dilaksanakan oleh Nabi
Muhammad SAW. Dan telah terlihat hasilnya karena beliau mampu mengkomunikasikan
islam agama fitrah dengan fitrah manusia.
Mengingat islam memiliki nilai-nilai universal yang fitrah
manusia selalu membutuhkannya, maka cukup beralasan kalau pendidikan islam yang
sudah menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional dikemas dan
ditawarkan kembali dengan pendekatan ideologi untuk memperkuat pilar system
pendidikan nasional.
A. Ideologi Pendidikan Islam
1. Sisi positif dan negatif sebuah ideologi
Ideologi bagi pengikutnya memiliki fungsi positif. Menurut
Vago yang dikutip oleh Haidar Nashir, ideologi memiliki fungsi: (1) memberikan
legitimasi dan rasionalisasi terhadap perilaku dan hubungan-hubungan sosial
dalam masyarakat; (2) sebagai dasar atau acuan pokok bagi solidaritas sosial
dalam kehidupan kelompok atau masyarakat, dan (3) memberikan motivasi bagi para
individu mengenai pola-pola tindakan yang pasti dan harus dilakukan.
Menurut golongan positivistik yang dikategotikan ideologi
adalah segala penilaian etis, norma, teori-teori metafisik dan keagamaan. Semua
yang termasuk ideologi itu merupakan keyakinan yang tidak ilmiah karena tidak
rasional dan hanya merupakan keyakinan subyektip. Bila ideologi dikaitkan
dengan ilmu pengetahuan, menurut Kuntowijoyo ideologi bersifat subyektif,
normatif, dan tertutup sedangkan ilmu pengetahuan memiliki watak obyektif,
faktual dan terbuka.
Untuk meminimalkan sisi negatif ideologi perlu dibatasi pada
ideologi dalam arti netral dan ideologi terbuka. Ideologi dalam arti netral
adalah sistem berfikir, nilai-nilai, dan sikap dasar rohani sebuah gerakan
kelompok sosial atau kebudayaan. Dalam hal ini ideologi tergantung sisinya,
kalau isinya baik maka ideologi itu baik, begitu pula sebaliknya. Ideologi
terbuka adalah ideologi yang hanya menetapkan nilai-nilai dasar, sedang
penerjemahannya ke dalam tujuan dan norma-norma sosial/ politik selalu dapat
dipertanyakan dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip moral dan perkembangan
cita-cita masyarakat. Operasinalisasinya tidak ditentukan secara apriori,
melainkan harus disepakati secara demokratis.oleh karena it ideologi terbuka
bersifat inklusif, tidak totaliter, dan tidak dimaksudkan unntuk melegatimasi
kepentingan sekelompok orang.
2. Humanisme teosentris sebagai peradigma ideologi
pendidikan islam
Istilah humanisme teosentris sesungguhnya perpaduan antara
humanisme dan teosentrisme, namun karena teosentrisme dimaksudkan untuk memberi
sifat humanisme, maka menjadi humanisme teosentris.
Karena begitu berharganya konsep humanisme ini, maka dewasa
ini terdapat sekurang-kurangnya empat aliran penting yang negklaim sebagai
pemilik asli konsep humanisme, yaitu (!) Liberalisme Barat, (2) Marxisme, (3)
Eksistensialisme, dan (4) Agama.
Walaupun keempat aliran iru memiliki perbedaan yang tajam
bahkan saling bertentangan, namun mereka memiliki titik-titik kesepakatan
mengenai prinsip-prinsip dasar kemanusiaan sebagai nilai universal. Dalam hal
ini Ali Syari’ati mendiskripsikannya ke dalam tujuh prinsip;
a. Manusia adaalah makhluk asli, artinya ia mempunyai
substansi yang mandiri di antara makhluk-makhluk lain, dan memiliki esensi
kemuliaan.
b. Manusia adalah mekhluk yang memiliki kehendak bebas yang
merupakan kekuatan paling besar dan luar biasa . Kemerdekaan dan kebebasan
memilih adalah dua sifat ilahiah yang merupakan ciri menonojol dalam diri
manusia.
c. Manusia adalah makhluk yang sadar (berpikir) sebagai
karakteristik manusia yang paling menonjol. Sadar berarti manusia dapat
memahami realitas alam luar dengan kekuatan berpikir.
d. Manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya sendiri,
artinya dia adalah makhluk hidup satu-satunya yang memuliki pengetahuan budaya
dan kemampuan membangun perasadaban.
e. Manusia adalah makhluk kreatif, yang menyebabkan manusia
mampu menjadikan dirinya makhluk sempurna di depan alam dan dihadapan tuhan.
f. Manusia makhluk yang punya cita-cita dan merindukan
sesuatu yang ideal, artinya dia tidak menyerah dan menerima “apa yang ada”,
tetapi selalu berusaha megubahnya menjadi “apa yang semestinya”.
g. Manusia adalah makhluk moral, yang hal ini berkaitan
dengan masalah nilai (value).
Humanisme yang diangkat menjadi peradigma ideologi
pendidikan islam ini pada dasarnya juga berontak dari ketujuh prinsip dasar kemanusiaan
tersebut karena sesungguhnya semua itu implicit dalam konsep fitrah manusia
sebagaimana yang akan dibahas pada bab II. Akan tetapi humanisme dalam
pandangan islam tidak dapat dipisahkan dari prinsip teosentrisme. Di satu sisi
keimanan “tauhid” sebagai inti ajaran islam, menjadi pusat seluruh orientasi
nilai. Akan tetapi semua itu kembali untuk menusia yang dieksplisitkan dalam
tujuan risalah islam “Rahmatan lil’alamin”.
Huanisme islam adalah humanisme teosentrisme karena islam
adalah agama yang sangat memetingkan manusia, menghargai harkat dan martabat
manusia, dan mengantarkannya ke tingkat kemuliaan yang tingi dengan bimbingan
nilai-bilai ilahiah “tauhidi”.
B. Pengertian Pendidikan Islam
Di dalam Al-Quran dan Hadits sebagai sumber utama ajaran islam
dapat ditemukan kata-kata atau istilah-istilah yang pengertiannya terkait
dengan pendidikan, yaitu Rabba, ‘allama, addaba.
Dalam bahasa Arab, kata-kata Rabba ‘allama, dan addaba
tersebut di atas mengandung pengertian sebagai berikut :
a. Kata kerja rabba yang masdarnya tarbiyahtan memiliki
beberapa arti, antara lain mengasuh, mendidik dan memelihara. Di samping kata
rabba ada kata-kata yang serumpun dengannya yaitu rabba yang berarti memiliki,
memimpin, memperbaiki, menambah. Rabba juga berarti tumbuh atau berkembang.
b. Kata kerja ‘allama yang masdarnya ta’liman berarti
mengajar yang lebih bersifat pemberian atau penyampaian pengertian,
pengetahuan, dan keterampilan.
Kata kerja addaba yang masdarnya ta’diban dapat diartikan
mendidik yang secara sempit mendidik budi pekerti dan secara lebih luas
meningkatkan peradaban. Muhammad Naqib Al-Attas dalam bukunya, konsep
Pendidikan islam, dengan gigih mempertahankan penggunaan istilah ta’dib untuk
konsep pendidikan islam, bukan tarbiyah, dengan alasan bahwa dalam istilah
ta’dib , mencakup wawasan ilmu dan amal yang merupakan esensi pendidikan islam.
Ketiga istilah tersebut (tarbiyah,ta’lim, dan ta’dib)
merupakan satu kesatuan yang saling terkait artinya, bila pendidikan
dinisbatkan kepada ta’dib ia harus melalui pengajaran (ta’lim) sehingga
dengannya diperoleh ilmu. Agar ilmu dapat dipahami, dihayati, dan selanjutnya
diamalkan oleh peserta didik perlu bimbingan (tarbiyah).
Istilah tarbiyah masdar dari rabba serumpun dengan akar kata
rabb (tuhan). Oleh karenanya tarbiyah yang berarti mendidik dan memelihara
implisit di dalamnya istilah rabb (tuhan) sebagai rabb al-‘alamin.
Berkenaan dengan masalah ini ‘Abdur-Rahman an-Nahlawi
menjabarkan konsep at-tarbiyah dalam empat unsur;
1. Memelihara
pertumbuhan fitrah manusia
2. Mengarahkan
perkembangan fitrah manusia menuju kesempurnaannya.
3. Mengembangkan
potensi insani (sumber daya manusia) untuk mencapai kualitas tertentu.
4. Melaksanakan
usaha-usaha tersebut secara bertahap sesuai dengan irama perkembangan anak.
Implikasi penggunaan istilah dan konsep tarbiyah dalam
pendidikan islam ialah :
1. Pendidikan bersifat humanis-teosentris artinya
berorientasi pada fitrah dan kebutuhan dasar manusia, yang diarahkan sesuai
dengan sunnah (skenario) tuhan “pencipta”.
2. Pendidikan bernilai ibadah karena tugas pendidikan
merupakan bagian tugas dari kekhalifaannya, sedangkan pendidikan yang hakiki
adalah Allah “Rabbul’alamin”.
3. Tanggung jawab pendidikan tidak hanya kepada sesama
manusia tetapi juga kepada tuhan.
Mengingat betapa luas dan kompleksitasnya risalah islamiyah
maka sebenarnya yang dimaksud dengan pengertian pendidikan islam ialah: “Segala
usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya
manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kami)
sesuai dengan norma islam.”
Pengertian pendidikan islam tersebut sejalan dengan konsepsi
baru hasil konperensi dunia pertama tentang pendidikan islam tahun 1977 di
Meka, yang menyatakan bahwa pendidikan islam tidak lagi hanya berarti
pengajaran teologik atau pengajaran Al-Qur’an, hadits dan fiqih, tetapi memberi
arti pendidikan di semua cabang ilmu pengetahuan yang diajarkan dari sudut
pandang islam.
Adapaun pengertian pendidikan agama islam ialah “usaha yang
lebih khusus ditekankan untuk mengembangkan fitrah keberagaman (religiousitas)
subyek didik agar lebih mampu memahami, menghayati dan mengamalkan
ajaran-ajaran islam.”
C. Fungsi Pendidikan Islam
Dengan pengertian pendidikan islam seperti di atas fungsi
pendidikan islam sudah cukup jelas, yaitu memelihara dan mengembangkan fitrah
dan sumber daya manusia menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil)
yakni manusia berkualitas sesuai dengan pandangan islam.
Ditinjau dari segi antropologi budaya dan sosiologi, fungsi
pendidikan yang pertama ialah menumbuhkan wawasan yang tepat mengenai manusia
dan alam sekitarnya, sehingga dengan demikian dimungkinkan tumbuhnya kemampuan
membaca (analisis), kreativitas dalam memajukan hidup dan kedidupannya dan
membangun lingkungannya.
Dari kajian antropologi dan sosiologi secara sekilas diatas
dapat kita ketahui adanya tiga fungsi pendidikan;
1. Mengembangkan wawasan subjek didik mengenai dirinya dan
alam sekitarnya, sehingga dengannya akan timbul kemampuan membaca (analisis),
akan mengembangkan kreativitas dan produkstivitas.
2. Melestarikan nilai-nilai insani yang akan menuntun jalan
kehidupannya sehingga keberdaannya, baik secara individual maupun sosial, lebih
bermakna.
3. Membuka pintu ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
sangat bermanfaat bagi kelangsungan dan kemajuan hidup individu maupun sosial.
Apabila dari kajian antropologi dan sosiologi tersebut
dikembalikan pada sudut pandang Al-Qr’an sebagai sumber utama pendidikan islam,
maka fungsi pertama dan terutama pendidikan islam adalah memberikan kemampuan
membaa (iqra’) pada peserta didik.
Dengan menegembalikan kajian antropologi dan sosiologi ke
dalam perspektif al-Qur’an dapat dismpulkan bahwa fungsi pendidikan islam ialah
:
1. Mengembangkan wawasan yang tepat dan benar mengenai jati
diri manusia, alam sekitarnya dan mengenai kebesaran ilahi, sehingga tumguh
kemampuan membaca (analisis) fenomena alam dan kehidupan serta memahami
hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Dengan kemampuan ini akan menumbuhkan
kreativitas dan produktivitas sebagai implementasi identifikasi diri pada tuhan
“pencipta”.
2. Menbebaskan manusia dari segala anasir yang dapat
merendahkan martabat manusia (fitrah manusia), baik yang datang dari dalam
dirinya sendiri maupun dari luar.
3. Mengembangkan ilmu pengetahuan untuk menopang dan
memajukan kehidupan baik individu maupun soaial.
BAB II
Fitrah Manusia Dan Implikasinya Dalam Pendidikan
A. Pengertian Fitrah
Fitrah berasal dari kata fathara yang sepadan dengan kata
khalaqa dan ansyaa yang artinya mencipta. Biasanya kata fathara, khalaqa dan
ansyaa digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan pengertian mencipta sesuatu
yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar (blue print) yang
perlu penyempurnaan.
B. Fitrah Manusia
Konsep fitrah manusia yang mengandung pengertian pola dasar
kejadian manusia dapat dijelaskan dengan meninjau: (1) Hakekat wujud manusia,
(2) Tujuan penciptaannya, (3) Sumber Daya Insani (SDM), (4) Citra manusia dalam
islam.
1. Hakekat wujud manusia
a. Manusia
Makhluk Jasmani-Ruhani Yang Paling Mulia
Kemuliaan manusia dapat ditinjau baik dari segi fisik maupun
ruhaninya, karena ia adalah makhluk jasmani rohani.
Segi fisik biologis.
Jasad atau fisik manusia asal mulanya dari tanah. Setelah
berproses menjadi bentuk manusia dalam Al-Qur’an disebut basyar, (Q.S. al-Hijr;
28) yakni makhluk fisik-biologis. Sebagai makhluk biologis kejadinnya hampir
sama dengan makhluk biologis lainnya terutama jenis binatang mamalia, yaitu
dari nutfah, ‘alaqah kemudian mudhghah embrio) dan akhirnya terbentuklah janin,
yang strukturnya secara gradual lebih sempurna dari binatang. (Q.S. at-: Tin 4
dan al-Mukminun: 13-14).
b. Manusia
makhluk yang suci ketika lahir
Kesucian manusia biasanya dikaitkan dengan kata “fitrah”. Di
tinjau dari segi bahasa hal ini sesungguhnya kurang tepat karena pengertian
fitrah, sebagaimana telah dijelaskan, ialah asal kejadian atau pola dasar
penciptaan. Bila dikaitkan dengan asal kejadiannya, manusia ketika baru lahir
memang masih suci dari segala noda dan dosa, walaupun ia lahir dari kedua orang
tua yang bergelimang dosa.
c. Manusia
makhluk etis religious
Sebagai rangkaian wujudnya yang suci di kala lahir, tuhan
senantiasa akan membimbingnya sengan agama yang sesuai dengan fitrah manusia,
Allah berfirman:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (allah)
(tetaplah) atas fitrah allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah allah, itulah agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. ar-Rum: 30).
d. Manusia
makhluk individu dan sosial
Karena manusia makhluk individu dan social, maka pendidikan
juga sering diartikan sebagai individualisasi dan sosialisasi.
Individualisasi:
Proses pengembangan dan perkembangan individua menjadi
pribadi disebut individualisasi, yaitu proses perkembangan seseorang dengan
seluruh wujudnya sebagai manusia dengan fitrah dan sumber daya manusianya,
sehingga mencapai kualitas tertentu dan mampu bertanggung jawab secara pribadi
atas keberadaannya.
Indiviudalisasi memusatkan perhatian secara individual
proses pemeliharaan fitrah dan pengembangan SDM.
Sosialisasi
Manusia sebagai makhluk sosial juga berarti setiap individu
tidak mungkin hidup layak tanpa terkait dengan kelompok masyarakat manusia
lainnya. Itulah sebabnya dalam masyarakat demokratik, masyarakat dan individu
saling komplementer. Hal ini dapat diketahui pada:
a. Manusia dipengaruhi oleh masyarakat dalam pembentukan
pribadinya.
b. Individu mempengaruhi masyarakat dan bahkan pengaruhnya
bisa menimbulkan perubahan besar bagi tatanan masyarakat.
Mengakhiri pembicaraan tentang hakikat wujud manusia menurut
pandangan islam, kesimpulan yang diberikan oleh “Abbas Mahmud al-Aqqad kiranya
akan memperkuat uraian di atas, yakni :
1. Manusia adalah makhluk mukallaf (makhluk yang diberi
amanat/ memikul tanggung jawab).
2. Manusia adalah makhluk yang merupakan gambar tuhan (‘ala
suratil-khaliq).
Implikasi pernyataan ini ialah manusia harus siap memikul
tanggung jawab atas kekhalifahannya.
Dari hakekat wujudnya sebagai makhluk individu dan sosial
dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan islam keberadaan pribadi seseorang
adalah:
1. Pribadi yang aktivistik karena tanpa aktivitas dalam
masyarakat berarti adanya sama dengan tidak ada (wujuduhu ka ‘adamihi), artinya
hanya dengan aktivitas, manusia baru diketahui bagaimana pribadinya.
2. Pribadi yang bertanggung jawab secara luas, baik terhadap
dirinya, terhadap lingkungannya, maupun terhadap tuhan.
3. Dengan kesimpulan di atas mengeinplisitkan adanya
pandangan rekonstruksionisme (rekonstruksi sosial) dalam pendidikan islam
melalui individualisasi dan sosialisasi.
2. Tujuan Penciptaan
a. Tujuan utama penciptaan manusia ialah agar manusia
beribadah kepada Allah. (Q.S. Az-Zahriyah: 56).
b. Manusia dicipta untuk diperankan sebagai wakil tuhan di
muka bumi. (Q.S. Al-Baqarah: 30, Yunus 14, Al-An’am: 165).
c. Manusia dicipta untuk membentuk masyarakat manusia yang
saling kenal-mengenal, hormat menghormati dan tolong-menolong antara satu
dengan yang lain (Q.S. Al-Hujurat: 13), tujuan penciptaan yang ketiga ini
menegaskan perlunya tanggung jawab bersama dalam menciptakan tatanan kehidupan
dunia yang damai.
3. Sumber Daya Manusia
Esensi SDM yang membedakan dengan potensi-potensi yang
diberikan kepada makhluk lainnya dan memang sangat tinggi nilainya ialah
“kebebasan” dan “hidayah Allah”, yang sesungguhnya inheren dalam fitrah
manusia.
4. Citra manusia dalam islam.
Berdasarkan uraian tentang fitrah manusia ditinjau dari
hakekat wujudnya, tujuan penciptaannya dan sumber daya insaninya, tergambar
secara jelas bagaimana citra manusia menurut pandangan islam:
a. Islam berwawasan optimistik tentang manusia dan sama
menolak sama sekali anggapan pesimistik dari sementara filosof eksistensialis
yang menganggap manusia sebagai makhluk yang terdampar dan terlantar dalam
hidup dan harus bertanggung jawab sendiri sepenuhnya atas eksistensinya.
b. Perjuangan hidup manusia bukan sekedar trial and error
belaka tetapi sudah mempunyai arah dan tujuan hidup yang jelas dan yang telah
digariskan oleh Tuhan Yang Maha Bijaksana. Untuk mencapainya manuia telah
diberi pedoman serta kemampuan, yakni akal dan agama.
c. Manusia makhluk yang paling mampu bertanggung jawab
karena dikaruniai seperangkat alat untuk dapat bertanggung jawab yaitu
kebebasan berpikir berkehendak, dan berbuat.
C. Implikasi Fitrah Manusia Dalam Pendidikan
1. Pemberian stimulus dan pendidikan demokratis
Manusia ditinjau dari segi fisik-biologis mungkin boleh
dikatakan sudah selesai, “Physically and biologically is finished”, tetapi dari
segi rohani, spiritual dan moral memang belum selesai, “morally is unfinished”.
Manusia tidak dapat dipandang sebagai makhluk yang reaktif,
melainkan responsif, sehingga ia menjadi makhluk yang responsible (bertanggung
jawab). Oleh karena itu pendidikan yang sebenarnya adalah pendidikan yang
memberikan stimulus dan dilaksanakan secara demokratis.
2. Kebijakan pendidikan perlu pertimbangan empiris.
Dengan bantuan kajian psikologik, implikasi fitrah manusia
dalam pendidikan islam dapat disimpulkan bahwa jasa pendidikan dapat diharapkan
sejauh menyangkut development dan becoming sesuai dengan citra manusia menurut
pandangan islam