Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi atau yang lebih
dikenal dengan nama Imam Hanafi merupakan seorang tabi’in yang memiliki wawasan
ilmu yang sangat luas. Beliau dikenal pandai dalam memberikan solusi yang
sering ditanyakan oleh orang orang kepadanya. Dalam membicarakan hadits Nabi
beliau sangat hati hati dan penuh adab sopan santun. Karena sebagian dari cara
berperilaku dan beradab sopan santun adalah ketika menuntut ilmu dan sedang
mengkaji hadits Nabi maka kita harus tawadhu dan dengan adab sebagai seorang
murid yang sedang berada dihadapan gurunya.
Imam Hanafi dilahirkan di Kufah
pada tahun 699 M. Ayahnya, Tsabit, adalah seorang pebisnis yang sukses di Kota
Kufah, tidak heran kita mengenal Imam Abu Hanifah sebagai seorang pebisnis yang
sukses pula mengikuti jejak sang ayah. Jadi, beliau tumbuh di dalam keluarga
yang shaleh dan kaya. Di tengah tekanan peraturan yang represif yang diterapkan
gubernur Irak Hajjaj bin Yusuf, Imam Abu Hanifah tetap menjalankan bisnisnya
menjual sutra dan pakaian-pakaian lainnya sambil mempelajari ilmu agama.
BELAJAR ILMU AGAMA
Sebagaimana kebiasaan orang-orang
shaleh lainnya, Abu Hanifah juga telah menghafal Alquran sedari kecil. Di masa
remaja, Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit mulai menekuni belajar agama dari
ulama-ulama terkemuka di Kota Kufah. Ia sempat berjumpa dengan sembilan atau
sepuluh orang sahabat Nabi semisal Anas bin Malik, Sahl bin Sa’d, Jabir bin
Abdullah, dll.
Saat berusia 16 tahun, Abu
Hanifah pergi dari Kufah menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan
berziarah ke kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Madinah al-Munawwaroh.
Dalam perjalanan ini, ia berguru kepada tokoh tabi’in, Atha bin Abi Rabah, yang
merupakan ulama terbaik di kota Mekah.
Jumlah guru Imam Abu Hanifah
adalah sebanyak 4000 orang guru. Di antaranya 7 orang dari sahabat Nabi, 93
orang dari kalangan tabi’in, dan sisanya dari kalangan tabi’ at-tabi’in. Jumlah
guru yang demikian banyak tidaklah membuat kita heran karena beliau banyak
menempuh perjalanan dan berkunjung ke berbagai kota demi memperoleh ilmu agama.
Beliau menunaikan haji sebanyak 55 kali, pada musim haji para ulama berkumpul
di Masjidil Haram menunaikan haji atau untuk berdakwah kepada kaum muslimin
yang datang dari berbagai penjuru negeri.
MENJADI SEORANG ULAMA BESAR
Imam Abu Hanifah menciptakan
suatu metode dalam berijtihad dengan cara melemparkan suatu permasalahan dalam
suatu forum, kemudian ia mengungkapkan pendapatnya beserta argumentasinya. Imam
Abu Hanifah akan membela pendapatnya di forum tersebut dengan menggunakan dalil
dari Alquran dan Hadist ataupun dengan logikanya. Diskusi bisa berlangsung
seharian dalam menuntaskan suatu permasalahan. Inilah metode Imam Abu Hanifah yang
dikenal dengan metode yang sangat mengoptimalkan logika.
Metode ini dianggap sangat
efektif untuk merangsang logika para murid Imam Abu Hanifah sehingga mereka
terbiasa berijtihad. Para murid juga melihat begitu cerdasnya Imam Abu Hanifah
dan keutamaan ilmu beliau. Dari majlis beliau lahirlah ulama-ulama besar
semisal Abu Yusuf, Muhammad asy-Syaibani, az-Zuffar, dll. dan majlis beliau
menjadi sebuah metode dalam kerangka ilmu fikih yang dikenal dengan Madzhab
Hanafi dan membuah sebuah kitab yang istimewa, al-Fiqh al-Akbar.
Imam Abu Hanifah beberapa kali
ditawari untuk memegang jabatan menjadi seorang hakim di Kufa, namun tawaran
tersebut senantiasa beliau tolak. Hal inilah di antara yang menyebabkan beliau
dipenjara oleh otoritas Umayyah dan Abbasiah.
WAFATNYA BELIAU
Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur
berkata kepada menterinya, "Aku sedang membutuhkan seorang hakim yang bisa
menegakkan keadilan di negara kita ini, dengan kualifikasi dia tidak takut
kepada siapapun dalam menegakkan kebenaran, paling memahami Al-Qur'an dan
Sunnah Rasulullah. Menurutmu siapa yang layak menduduki posisi ini?", lalu
sang menteri menjawab, "Sejauh pengetahuan saya, ulama yang paling tepat
menduduki jabatan ini adalah Abu Hanifah An-Nu'man, betapa bahagianya kita jika
ia menerima tawaran sebagai hakim ini!", "Apa mungkin seseorang bisa
menolak jika kita yang memintanya?" tanya Khalifah lagi, "Sejauh yang
kami tahu, dia tidak pernah tunduk kepada permintaan siapapun, tampaknya dia
tidak suka menduduki posisi sebagai hakim, maka utuslah seseorang utusan
mudah-mudahan hatinya terbuka, dan menerima tawaran ini."
Khalifah kemudian mengutus
seorang utusan memintanya untuk menghadap seraya menawarkan posisi sebagai
hakim. Abu Hanifah menjawab, "Aku akan istikharah terlebih dahulu, salat 2
rakaat meminta petunjuk kepada Allah, jika hatiku dibuka maka akan aku terima,
jika tidak maka masih banyak ahli fikih lain yang bisa dipilih salah satu
daintara mereka oleh Amirul Mukminin."
Waktu terus berjalan, ternyata
Abu Hanifah tak kunjung menghadap Khalifah, maka ia mengutus seorang utusan
memintanya menghadap, Abu Hanifah kemudian pergi menghadap namun ia beritikad
untuk menolak jabatan hakim yang ditawarkan kepadanya.
Ternyata Khalifah tidak menyerah
begitu saja, ia bersumpah agar Abu Hanifah menerima jabatan sebagai hakim yang
ditawarkan, akan tetapi Abu Hanifah tetap menolaknya, seraya berkata,
"Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku tak pantas untuk menduduki
jabatan hakim," lalu Khalifah malah menjawab, "Engkau dusta!"
sehingga Abu Hanifah pun berkata, "Sekiranya Anda telah menghukumi saya
sebagai pembohong, maka sesungguhnya para pembohong tak layak menjadi hakim,
dan sebaiknya Anda jangan mengangkat rakyat Anda yang tidak memenuhi
kualifikasi untuk menduduki jabatan yang strategis ini. Wahai Amirul Mukminin,
takutlah kepada Allah, dan jangan Anda delegasikan amanah kecuali kepada mereka
yang takut kepada Allah, jika saya tidak mendapat jaminan keridhaan, bagaimana
saya akan mendapat jaminan terhindar dari murka?". Khalifah lalu memerintahkan
mencambuknya seratus cambukan, lalu dijebloskannya ke penjara.
Selang beberapa hari, khalifah
mendapat teguran dari seorang kerabatnya, "Wahai Amirul Mukminin,
sesungguhnya Anda telah mencambuk diri Anda dengan seratus ribu pukulan
pedang."
Maka khalifah segera
memerintahkan untuk membayar 30.000 dirham (sekitar Rp.2,1 miliar) kepada Abu
Hanifah sebagai ganti atas yang telah dideritanya, lalu membebaskannya dan
mengembalikan ke rumahnya.
Ternyata setelah harta tersebut
diberikan, ia menolaknya. Maka khalifah memerintahkan untuk menjebloskan
kembali ke penjara. Hanya saja para menteri mengusulkan bahwa Abu Hanifah
segera dibebaskan dan cukup diberi dengan penjara rumah, serta melarangnya
untuk duduk bersama masyarakat atau keluar dari rumah.
Selang beberapa hari setelah
mendapatkan tahanan rumah, ia terkena penyakit, semakin lama semakin parah.
Akhirnya ia wafat pada usia 68 tahun. Berita kematiannya segera menyebar,
ketika Khalifah mendengar berita itu, ia berkata, "Siapa yang bisa
memaafkanku darimu hidup maupun mati?" Salah seorang ulama Kufah berkata,
"Cahaya keilmuan telah dimatikan dari kota Kufah, sungguh mereka tidak
pernah melihat ulama sekaiber dia selamanya." Yang lain berkata,
"Kini mufti dan fakih Irak telah tiada."
Jasadnya dikeluarkan dipanggul di
atas punggung kelima muridnya, hingga sampai tempat pemandian, ia dimandikan
oleh Al-Hasan bin Imarah, sementara Al-Harawi yang menyiramkan air ke tubuhnya.
Ia disalatkan lebih dari 50.000 orang. Dalam enam kali putaran yang ditutup
dengan salat oleh anaknya, Hammad. Ia tak dapat dikuburkan kecuali setelah
salat Ashar karena sesak, dan banyak tangisan. Ia berwasiat agar jasadnya
dikuburkan di Kuburan Al-Khairazan, karena merupakan tanah kubur yang baik dan
bukan tanah curian.
PUJIAN ULAMA KEPADA BELIAU
Imam Malik
"Subhanallah, Saya belum
pernah melihat sosok seperti dia, Demi Allah, jika Abu Hanifah berpendapat
bahwa sebuah alat terbuat dari emas, maka pasti ia sanggup mempertengahkan
kebenaran atas perkataannya itu."
Imam Syafi'i
"Barangsiapa ingin memperdalam
fikih, maka hendaklah menjadi anak asuh bagi Abu Hanifah, Abu Hanifah merupakan
orang yang diberi taufik oleh Allah dalam bidang fikih."
"Barangsiapa belum membaca
buku-buku Abu Hanifah, maka ia belum memperdalam ilmu, juga belum belajar
fikih."
Imam Ahmad bin Hambal
"Subhanallah, ia berada
dalam posisi keilmuan, wara' dan zuhud, mementingkan akhirat, yang tidak
dilihat oleh seorangpun."
Ibnu Juraij
"Aku mendengar bahwa
an-Nu'man (julukan Abu Hanifah) orang yang paling wara', menjaga agama dengan
ilmunya, tidak mengedepankan pecinta dunia diatas pecinta akhirat, saya
berkeyakinan bahwa dalam dunia keilmuan dia akan memiliki prestasi yang
menakjubkan."
Imam Fudhail bin Iyadh
"Abu Hanifah merupakan pribadi fakih yang
terkenal dengan kefakihannya, kekayaan yang cukup luas, terkenal dengan
kebaikan terhadap setiap orang yang mengganggunya, sangat sabar dalam menuntut
ilmu baik siang maupun malam, selalu diam, sedikit berbicara hingga datang
kepadanya masalah-masalah halal dan haram, sangat cermat dalam menunjukkan
kebenaran, selalu lari dari harta penguasa."