Idiologi Pendidikan Islam




PENDAHULUAN

A. PARADIGMA IDEOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

      Buku ini sengaja mengangkat judul buku Ideologi Pendidikan Islam didasarkan atas empat alasan, yaitu: pertama, istilah terkait dengan istilah “ideology” pada dasarnya. digunakan dengan merujuk pengertiannya yang luas yaitu konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup.
Implikasi penggunaan ideologi dalam pendidikan adalah keharusan adanya konsep cita-cita dan nilai-nilai yang secara eksplisit dirumuskan, dipercayai dan diperjuangkan; kedua, filsafat dan teori pendidikan lebih kental dengan muatan akademisnya sedangkan ideologi agak kurang tuntutan akademisnya, akan tetapi lebih diarah kepada aksi; ketiga, didalam benturan peradaban sebagai dampak globalisasi, terjadi pergumulan ideologi dunia. Sementara Islam yang sarat dengan nilai-nilai universal dan transedental seharusnya dapat ditawarkan sebagai paradigma ideologi alternatif. Terlebih lagi, pendidikan sebagai wahana sangat strategis dalam membangun peradaban alternatif perlu diformulasikan dengan pendekatan ideologis sehingga memiliki daya pengikat dan penggerak untuk aksi. Keempat, di tengah-tengah munculnya semangat Islam progresif saat ini yang berorientasi pada Islam liberal dan humanis perlu ada acuan yang bertolak dari nila-nilai dasar Islam yang sejatinya sangat humanis, sehingga semangat progresivisme dan liberalisme tidak kehilangan akar akidahnya.
Pada prinsipnya, yang dijadikan paradigma ideologi adalah prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersifat universal, yaitu Humanisme-Teosentris. Implementasi ajaran ini dalam praktik kehidupan dan pendidikan dapat fleksibel atau luwes, selama substansinya tetap terpelihara, yaitu: menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana hakikat ajaran Islam, sebagai agama fitrah, memang ditujukan untuk kebutuhan manusia itu sendiri.
     
B. GAMBARAN SISTEMATIKA PEMBAHASAN

      Format ideologi yang diatas, yang menggunakan paradigma humanisme teosentris dalam buku ini dibahas pada bab I, diperjelas dengan mengemukakan makna dan fungsi pendidikan Islam itu sendiri.
Pada bab II, mengenai fitrah dan implikasinya dalam pendidikan sehingga kandungan makna humanisme teosentris tampak semakin utuh dalam konsep fitrah tersebut.
Bab III memuat inti pembahasan yang bersifat ideologis, yakni mengenai dasar dan tujuan pendidikan Islam.
Selanjutnya, pada bab IV membahas isi pendidikan Islam, yang dalam konteks ideologi dapat dianalogkan sebagai jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan.
Pada bab terakhir, membahas transformasi pendidikan Islam, yang membuktikan bahwa ideologi pendidikan Islam bukanlah sesuatu yang kaku dan eksklusif. Sebaliknya, paradigma yang humanisme teosentris yang dikandungnya, operasional dan praksis pendidikan Islam menjadi iklusif, terbuka menerima pembaharuan yang dinamis.

FITRAH MANUSIA DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN

A. PENGERTIAN FITRAH

      Fitrah berasal dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa dan ansyaa yang artinya mencipta. Biasanya kata fathara, khalaqa dan ansyaa digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan pengertian mencipta sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar (blue print) yang perlu penyempurnaan.
B. FITRAH MANUSIA
Konsep fitrah manusia yang mengandung pengertian pola dasar kejadian manusia dapat dijelaskan dengan meninjau: (1) Hakekat wujud manusia, (2) Tujuan penciptaannya, (3) Sumber Daya Insani (SDM), (4) Citra manusia dalam islam.
Dari hakekat wujudnya sebagai makhluk individu dan sosial dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan islam keberadaan pribadi seseorang adalah:
1. Pribadi yang aktivistik karena tanpa aktivitas dalam masyarakat berarti adanya sama dengan tidak ada (wujuduhu ka ‘adamihi), artinya hanya dengan aktivitas, manusia baru diketahui bagaimana pribadinya.
2. Pribadi yang bertanggung jawab secara luas, baik terhadap dirinya, terhadap lingkungannya, maupun terhadap tuhan.
3. Dengan kesimpulan di atas mengeinplisitkan adanya pandangan rekonstruksionisme (rekonstruksi sosial) dalam pendidikan islam melalui individualisasi dan sosialisasi.
1. Tujuan Penciptaan
a. Tujuan utama penciptaan manusia ialah agar manusia beribadah kepada Allah. (Q.S. Az-Zahriyah: 56).
b. Manusia dicipta untuk diperankan sebagai wakil Tuhan di muka bumi. (Q.S. Al-Baqarah: 30, Yunus 14, Al-An’am: 165).
c. Manusia dicipta untuk membentuk masyarakat manusia yang saling kenal-mengenal, hormat menghormati dan tolong-menolong antara satu dengan yang lain (Q.S. Al-Hujurat: 13), tujuan penciptaan yang ketiga ini menegaskan perlunya tanggung jawab bersama dalam menciptakan tatanan kehidupan dunia yang damai.
2. Sumber Daya Manusia
Esensi SDM yang membedakan dengan potensi-potensi yang diberikan kepada makhluk lainnya dan memang sangat tinggi nilainya ialah “kebebasan” dan “hidayah Allah”, yang sesungguhnya inheren dalam fitrah manusia.
3. Citra manusia dalam Islam.
Berdasarkan uraian tentang fitrah manusia ditinjau dari hakekat wujudnya, tujuan penciptaannya dan sumber daya insaninya, tergambar secara jelas bagaimana citra manusia menurut pandangan islam:
a. Islam berwawasan optimistik tentang manusia dan sama menolak sama sekali anggapan pesimistik dari sementara filosof eksistensialis yang menganggap manusia sebagai makhluk yang terdampar dan terlantar dalam hidup dan harus bertanggung jawab sendiri sepenuhnya atas eksistensinya.
b. Perjuangan hidup manusia bukan sekedar trial and error belaka tetapi sudah mempunyai arah dan tujuan hidup yang jelas dan yang telah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Bijaksana. Untuk mencapainya manuia telah diberi pedoman serta kemampuan, yakni akal dan agama.
c. Manusia makhluk yang paling mampu bertanggung jawab karena dikaruniai seperangkat alat untuk dapat bertanggung jawab yaitu kebebasan berpikir berkehendak, dan berbuat.

C. Implikasi Fitrah Manusia Dalam Pendidikan

      1. Pemberian stimulus dan pendidikan demokratis
Manusia ditinjau dari segi fisik-biologis mungkin boleh dikatakan sudah selesai, “Physically and biologically is finished”, tetapi dari segi rohani, spiritual dan moral memang belum selesai, “morally is unfinished”.
Manusia tidak dapat dipandang sebagai makhluk yang reaktif, melainkan responsif, sehingga ia menjadi makhluk yang responsible (bertanggung jawab). Oleh karena itu pendidikan yang sebenarnya adalah pendidikan yang memberikan stimulus dan dilaksanakan secara demokratis.
2. Kebijakan pendidikan perlu pertimbangan empiris.
Dengan bantuan kajian psikologik, implikasi fitrah manusia dalam pendidikan islam dapat disimpulkan bahwa jasa pendidikan dapat diharapkan sejauh menyangkut development dan becoming sesuai dengan citra manusia menurut pandangan islam.
3. Konsep fitrah dan aliran konvergensi
Dari satu sisi, aliran konvergensi dekat dengan konsep fitrah walaupun tidak sama karena perbedaan paradigmanya. Adapun kedekatannya:
Pertama: Islam menegaskan bahwa manusia mempunyai bakat-bakat bawaan atau keturunan, meskipun semua itu merupakan potensi yang mengandung berbagai kemungkinan,
Kedua: Karena masih merupakan potensi maka fitrah itu belum berarti bagi kehidupan manusia sebelum dikembangkan, didayagunakan dan diaktualisasikan.
Namun demikian, dalam Islam, faktor keturunan tidaklah merupakan suatu yang kaku sehingga tidak bisa dipengaruhi. Ia bahkan dapat dilenturkan dalam batas tertentu. Alat untuk melentur dan mengubahnya ialah lingkungan dengan segala anasirnya. Karenanya, lingkungan sekitar ialah aspek pendidikan yang penting. Ini berarti bahwa fitrah tidak berarti kosong atau bersih seperti teori tabula rasa tetapi merupakan pola dasar yang dilengkapi dengan berbagai sumber daya manusia yang potensial


KONSTRUKTIVISME DALAM PENDIDIKAN

      Dewasa ini, dunia pendidikan mendapat sumbangan pemikiran dari teori konstruktivisme sehingga banyak negara mengadakan perubahan-perubahan secara mendasar terhadap sistem dan praktek pendidikan mereka, bahkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pun tak luput dari pengaruh teori ini. Paul Suparno dalam ”filsafat konstruktivisme dalam pendidikan” mencoba mengunai implikasi filsafat konstruktivisme dalam praktek pendidikan. Berikut ini adalah intisari buku tersebut, sekiranya bisa bermanfaat bagi para pendidik dan orang lain.
Sebelum kita melangkah kepada pembahasan “filsafat kontruktivisme dalam pendidikan” terlebih dahulu kita harus mengetahui apa itu konstruktivisme?. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi(bentukan) kita sendiri.
Menurut Von Glaserfeld, pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyatan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyatan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk penetahuan (Betten court, 1989). Maka pewngetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya sesuatu pemahaman yang baru(Piaget, 1971).
Para konstruktivisme menjelaskan bahwa satu-satunya alat/sarana yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui seseorang adalah indranya. Seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungan dengan melihat, mendengar, menjamah, mencium, dan merasakannya. Dari sentuhan indrawi itu seseorang membangun gambaran dunianya. Misalnya, dengan mengamati air, bermain dengan air, mencicipi air, dan menimbang air, seseorang membangun gambaran pengetahuan tentang air. Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang(guru) ke kepala orang lain(murid). Murid sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka(lorsbach dan tobin,1992).
Tampak bahwa pengetahuan lebih menunjuk pada pengalaman seseorang akan dunia dari pada dunia itu sendiri. Tanpa pengalaman itu, seseorang tidak dapat membentuk pengetahuan. Pengalaman tidak harus diartikan sebagai pengalaman fisik, tetapi juga dapat diartikan sebagai pengalaman kognitif dan mental.
Berlandaskan teori piaget dan dipengaruhi filsafat sainsnya Toulmin yang mengatakan bahwa bagian terpenting dari pemahamn seseorang adalah perkembangan konsep secara evolutif, dengan terus seseorang berni mengubah ide-idenya. Posner dkk lantas mengembangkan teori belajar yang dikenal dengan teori perubahan konsep, tahap pertama dalam perubahan konsep di sebut asimilasi, yakni siswa menggunakan konsep yang sudah dimilikinya untuk menghadapi fenomena baru. Namun demikian, suatu ketika siswa dihadapkan fenomena baru yang tak bisa dipecahkan dengan pengetahuan lamanya., maka ia harus membuat perubahan konsep secara radikal, inilah yang disebut tahapan akomodasi.
Piaget (1970) membedakan dua aspek berpikir dalam pembentukan pengetahuan ini: (1) aspek figuratif dan(2) aspek operatif. Aspek berpikir figuratif adalah imaginasi keadaan sesaat dan statis. Ini mencakup persepsi, imaginasi dan gambaran mental seseorang terhadap sesuatu objek atau fenomena. Aspek berpikir operatif lebih berkaitan dengan transformasi dari satu level ke level lain. Ini menyangkut operasi intelektual atau sistem tarnsformasi. Setiap level keadaan dapat dimengerti sebagai akibat dari transformasi tertentu atau sebagai titik tolak bagi transformasi lain. Dengan kat lain, aspek yang lebih esential dari berfikir adalah aspek operatif. Berpikir operatif inilah yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuannya dari satu level tertentu ke level yang lebih tinggi.
Mengapa kita perlu mengkonstruksikan pengetahuan? Mengapa kita perlu mengetahui sesuatu? Menurut Shapiro (1994),tujuan mengetahui sesuatu bukanlah untuk menemukan realitas. Tujuannya lebih adaptif, yaitu untuk mengorganisasikan ”pengetahuan” yang cocok dengan tantangan dan pengalaman-pengalaman baru.
Secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan dirangkum sebagai berikut :
1) Pengetahuan bukanlah merupakn gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakn konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
2) Subjek membentuk skema kognitif,kategori,konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
3) Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsiu membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
Adapun realitas dan kebenarannya, pengetahuan kita bukanlah realitas dalam arti umum. Konstruktivisme menyatakan bahwa kita tidak pernah dapat mengertirealitas sesungguhnya secara antologis.yang kita mengerti adalah struktur konstruksi kita akan suatu objek. Menurut bettern court (1989), memang konstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih hendak melihat bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu. Boileh juga dikatakan bahwa ”realitas” bagi konstruktivisme tidak pernah ada secaara terpisah dari pengamat. Yang diketahui bukan suatu realitas ”di sana” yang berdiri sendiri, melainkan kenyataan sejauh dipahami oleh orang yang menangkapnya (Shapiro, 1994). Menurut shapiro, ada banyak bentuk kenyataan dan masing-masing tergantung pada kerangka dan interaksi pengamat dengan objek yang diamati. Dalam kerangka pemikiran ini, bila kita bertanya, ”apa yang kita ketahui itu memang sungguh kenyataan yang ada?”, konstruktivis akan menjawab, ”kami tidak tahu, itu bukan urusan kami.”
Lalu, bagaimana halnya degan kebenaran? Bagaimana orang tahu bahwa pengetahuan yang kita konstruksikan itu benar? Beberapa paham ilmu pengetahuan mengatakan bahwa pengetahuan itu dianggap benar bila pengetahuan itu sesuai dengan kenyataanya. Misalnya, pengetahuan seseorang bahwa ”angsa itu putih” adalah benar bila dalam kenyataanya memang angsa itu putih dan tidak berwarna lain. Dengan kata lain,orang membuktikan pengetahuaanya dengan membandingkannya dengan realitas ontologisnya.
Adapun hal yang membatasi konstruksi pegetahuan yaitu ada tiga hal (1) konstruksi kita yang lama, (2) domain pengalaman kita, dan (3) jaringan struktur kognitif kita. Hasil dan proses konstruksi pengetahuan kita yang lampau dapat menjadi pembatas konstruksi pengetahuan kita yang mendatang. Unsur-unsur yang kita abstraksikan dari pengalaman yang lampau, cara kita mengabstraksikan dan mengorganisasikan konsep-konsep, aturan main yang kita gunakan untuk mengerti sesuatu , sewmuanya punya pengaruh terhadap pembentukan pengetahuan berikutnya. Misalnya, pengetahuan kita akan hukum newton akan selalu membatasi kita dalam menganalisis suatu gerak.
Pengalaman kita yang terbatas akan sangat membatasi perkembangan pembentukan pengetahuan kita pula. Menurut konstruktivisme, pengalama akan fenomena yang baru akam menjadi unsur yang sangat penting dalam pengembangan pengetahuan kita dan kekurangan dalam hal ini akan membatasi pengetahuan kita pula.
Struktur kognitif merupakan sesuatu sistem yang saling berkaitan. Konsep, gagasan, gambaran, teori, dan sebagainya yang membentuk struktur kognitif saling berhubungan satu dengan yang lain. Inilah yang oleh Toulmin (1972) di sebut ekologi konseptual. Setiap pengetahuan yang baru harus juga cocok degan ekologi konseptual tersebut, karena manusia cenderung untuk menjaga stabilitas ekologin sistem tersebut, kecenderungan ini dapat menghambat pengembangan pengetahuan.
Adapun faktor yang memungkinkan perubahn pengetahuan yaitu, banyaknya situasi yang memaksa atau membantu seseorang untuk mengadakan perubahan dalam pengetahuannya. Perubahan ini, mengembangkan pengetahuan seseorang. Bettencourt (1989) menyebutkan beberapa situasi atau konteks yang memnbantu perubahn,m yaitu (1) konteks tindakan,(2) konteks membuat masuk akal, (3) konteks penjelasan, dan (4) konteks pebenaran (justifikasi)
Bila seseorang harus cepat bertindak atau memecahkan sesuatu secara berencana, ia akan terdorong untuk menganalisis situasi dan persoalan yang dihadapi. Dalam situasi seperti itu ia dapat bertindak secara efisien dan membentuk pengetahuan dan konsep yang baru. Juga bila seseorang berhadapan dengan suatu persoalan atau kejadian baru yang tidak disangka-sangka, ia ditantang untuk mencari arti dan makna hal itu dengan menggunakn gagasan, ide-ide, maupun konsep-konsep yang telah ia punya. Bila konsepnya tidak cocok, lalu ia terpaksa harus mengubah konsepnya. Dalam demikian ia mengembangkan pengetahuan yang baru.

Penutup

Konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia. Manusia mengkonstruksiu pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomen, pengalaman, dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomen yang sesuai. Bagi konstruktivisme, pengetahuan tideak dapat ditransfer degitu saja dari seseorang kepasa yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Tiap orangf harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Dalam proses itu keaktifan seseorang yang ingin tahu amat berperan dalam perkembangan pengetahuannya.
Beberapa faktor seperti keterbatasan pengalaman konstruksi yang terdahulu, dan struktur kognitif seseorang dapat membatasi pembentukan pengetahuan orang tersebut. Sebaliknya, situasi konflik atau anomali yang membuat orang dipaksa untuk berpikir lebih mendalam serta situasi yang menuntut orang untuk membela diri dan menjelaskan lebih rinci, akan mengembangkan pengetahuan seseorang.
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Kanisius 1997. hlm. 18-19
http://ahmad faqih.blogsport.com/mengenal teori konstuktivisme,html
Ibid…, hlm. 20-21
Pendapat tersebut dikutip oleh (Von Glasersfeld dan Kitchener, 1987)
Ibid…, hlm, 21-22
Pendapat Bettencourt, 1989.
Ibid…, hlm. 23

HAKIKAT DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Pendidikan Islam
Ada tiga istilah yang umum digunakan dalam pendidikan Islam, yaitu al-Tarbiyah (pengetahuan tentang ar-rabb), al-Ta’lim (ilmu teoritik, kreativitas, komitmen tinggi dalam mengembangkan ilmu, serta sikap hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah), al-Ta’dib (integrasi ilmu dan amal). (Hasan Langgulung : 1988).
1. Istilah al-Tarbiyah
Kata Tarbiyah berasal dari kata dasar “rabba” (رَبَّى), yurabbi (يُرَبِّى) menjadi “tarbiyah” yang mengandung arti memelihara, membesarkan dan mendidik. Dalam statusnya sebagai khalifah berarti manusia hidup di alam mendapat kuasa dari Allah untuk mewakili dan sekaligus sebagai pelaksana dari peran dan fungsi Allah di alam. Dengan demikian manusia sebagai bagian dari alam memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang bersama alam lingkungannya. Tetapi sebagai khalifah Allah maka manusia mempunyai tugas untuk memadukan pertumbuhan dan perkembangannya bersama dengan alam. (Zuhairini, 1995:121).
2. Istilah al-Ta’lim
Secara etimologi, ta’lim berkonotasi pembelajaran, yaitu semacam proses transfer ilmu pengetahuan. Hakekat ilmu pengetahuan bersumber dari Allah SWT. Adapun proses pembelajaran (ta’lim) secara simbolis dinyatakan dalam informasi al-Qur’an ketika penciptaan Adam as oleh Allah SWT, ia menerima pemahaman tentang konsep ilmu pengetahuan langsung dari penciptanya. Proses pembelajaran ini disajikan dengan menggunakan konsep ta’lim yang sekaligus menjelaskan hubungan antara pengetahuan Adam as dengan Tuhannya. (Jalaluddin, 2001:122).
3. Istilah al-Ta’dib
Menurut al-Attas, istilah yang paling tepat untuk menunjukkan pendidikan Islam adalah al-Ta’dib, konsep ini didasarkan pada hadits Nabi:
اِدَّ بَنِيْ رَبِّى فَأَحْسَنَ تَـأْدِيْبِيْ {رواه العسكرى عن على}
Artinya : “Tuhan telah mendidikku, maka ia sempurnakan pendidikanku”
(HR. al-Askary dari Ali r.a).
Al-Ta’dib berarti pengenalan dan pengetahuan secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya.
Dari bahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam. (Samsul Nizar, 2002:32).
B. Tugas dan Fungsi Pendidikan Islam
Secara umum tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal. Sementara fungsinya adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan berjalan dengan lancar.
Bila dilihat secara operasional, fungsi pendidikan dapat dilihat dari dua bentuk :
1. Alat untuk memperluas, memelihara, dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial serta ide-ide masyarakat dan nasional
2. Alat untuk mengadakan perubahan inovasi dan perkembangan.
C. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
Menetapkan al-Qur’an dan hadits sebagai dasar pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata. Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dibolehkan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan.
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia. Secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran, diri manusia yang rasional, perasaan dan indra, karena itu, pendidikan hendaknya mencakup pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik, aspek spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif, dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah SWT, baik secara pribadi kontinuitas, maupun seluruh umat manusia. (Samsul Nizar, 2002:38).



BAB I 
Format Ideologi Pendidikan Islam

      Pendidikan termasuk wilayah muamalah duniawi-yah, maka menjadi tugas manusia untuk memikirkannya terus menerus seirama dengan perubahan zaman. Prinsip-prinsip pendidikan islam telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW. Dan telah terlihat hasilnya karena beliau mampu mengkomunikasikan islam agama fitrah dengan fitrah manusia.
Mengingat islam memiliki nilai-nilai universal yang fitrah manusia selalu membutuhkannya, maka cukup beralasan kalau pendidikan islam yang sudah menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional dikemas dan ditawarkan kembali dengan pendekatan ideologi untuk memperkuat pilar system pendidikan nasional.

A. Ideologi Pendidikan Islam

      1. Sisi positif dan negatif sebuah ideologi
Ideologi bagi pengikutnya memiliki fungsi positif. Menurut Vago yang dikutip oleh Haidar Nashir, ideologi memiliki fungsi: (1) memberikan legitimasi dan rasionalisasi terhadap perilaku dan hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat; (2) sebagai dasar atau acuan pokok bagi solidaritas sosial dalam kehidupan kelompok atau masyarakat, dan (3) memberikan motivasi bagi para individu mengenai pola-pola tindakan yang pasti dan harus dilakukan.
Menurut golongan positivistik yang dikategotikan ideologi adalah segala penilaian etis, norma, teori-teori metafisik dan keagamaan. Semua yang termasuk ideologi itu merupakan keyakinan yang tidak ilmiah karena tidak rasional dan hanya merupakan keyakinan subyektip. Bila ideologi dikaitkan dengan ilmu pengetahuan, menurut Kuntowijoyo ideologi bersifat subyektif, normatif, dan tertutup sedangkan ilmu pengetahuan memiliki watak obyektif, faktual dan terbuka.
Untuk meminimalkan sisi negatif ideologi perlu dibatasi pada ideologi dalam arti netral dan ideologi terbuka. Ideologi dalam arti netral adalah sistem berfikir, nilai-nilai, dan sikap dasar rohani sebuah gerakan kelompok sosial atau kebudayaan. Dalam hal ini ideologi tergantung sisinya, kalau isinya baik maka ideologi itu baik, begitu pula sebaliknya. Ideologi terbuka adalah ideologi yang hanya menetapkan nilai-nilai dasar, sedang penerjemahannya ke dalam tujuan dan norma-norma sosial/ politik selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip moral dan perkembangan cita-cita masyarakat. Operasinalisasinya tidak ditentukan secara apriori, melainkan harus disepakati secara demokratis.oleh karena it ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter, dan tidak dimaksudkan unntuk melegatimasi kepentingan sekelompok orang.
      
      2. Humanisme teosentris sebagai peradigma ideologi pendidikan islam
Istilah humanisme teosentris sesungguhnya perpaduan antara humanisme dan teosentrisme, namun karena teosentrisme dimaksudkan untuk memberi sifat humanisme, maka menjadi humanisme teosentris.
Karena begitu berharganya konsep humanisme ini, maka dewasa ini terdapat sekurang-kurangnya empat aliran penting yang negklaim sebagai pemilik asli konsep humanisme, yaitu (!) Liberalisme Barat, (2) Marxisme, (3) Eksistensialisme, dan (4) Agama.
Walaupun keempat aliran iru memiliki perbedaan yang tajam bahkan saling bertentangan, namun mereka memiliki titik-titik kesepakatan mengenai prinsip-prinsip dasar kemanusiaan sebagai nilai universal. Dalam hal ini Ali Syari’ati mendiskripsikannya ke dalam tujuh prinsip;
a. Manusia adaalah makhluk asli, artinya ia mempunyai substansi yang mandiri di antara makhluk-makhluk lain, dan memiliki esensi kemuliaan.
b. Manusia adalah mekhluk yang memiliki kehendak bebas yang merupakan kekuatan paling besar dan luar biasa . Kemerdekaan dan kebebasan memilih adalah dua sifat ilahiah yang merupakan ciri menonojol dalam diri manusia.
c. Manusia adalah makhluk yang sadar (berpikir) sebagai karakteristik manusia yang paling menonjol. Sadar berarti manusia dapat memahami realitas alam luar dengan kekuatan berpikir.
d. Manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya sendiri, artinya dia adalah makhluk hidup satu-satunya yang memuliki pengetahuan budaya dan kemampuan membangun perasadaban.
e. Manusia adalah makhluk kreatif, yang menyebabkan manusia mampu menjadikan dirinya makhluk sempurna di depan alam dan dihadapan tuhan.
f. Manusia makhluk yang punya cita-cita dan merindukan sesuatu yang ideal, artinya dia tidak menyerah dan menerima “apa yang ada”, tetapi selalu berusaha megubahnya menjadi “apa yang semestinya”.
g. Manusia adalah makhluk moral, yang hal ini berkaitan dengan masalah nilai (value).
Humanisme yang diangkat menjadi peradigma ideologi pendidikan islam ini pada dasarnya juga berontak dari ketujuh prinsip dasar kemanusiaan tersebut karena sesungguhnya semua itu implicit dalam konsep fitrah manusia sebagaimana yang akan dibahas pada bab II. Akan tetapi humanisme dalam pandangan islam tidak dapat dipisahkan dari prinsip teosentrisme. Di satu sisi keimanan “tauhid” sebagai inti ajaran islam, menjadi pusat seluruh orientasi nilai. Akan tetapi semua itu kembali untuk menusia yang dieksplisitkan dalam tujuan risalah islam “Rahmatan lil’alamin”.
Huanisme islam adalah humanisme teosentrisme karena islam adalah agama yang sangat memetingkan manusia, menghargai harkat dan martabat manusia, dan mengantarkannya ke tingkat kemuliaan yang tingi dengan bimbingan nilai-bilai ilahiah “tauhidi”.

B. Pengertian Pendidikan Islam

      Di dalam Al-Quran dan Hadits sebagai sumber utama ajaran islam dapat ditemukan kata-kata atau istilah-istilah yang pengertiannya terkait dengan pendidikan, yaitu Rabba, ‘allama, addaba.
Dalam bahasa Arab, kata-kata Rabba ‘allama, dan addaba tersebut di atas mengandung pengertian sebagai berikut :
a. Kata kerja rabba yang masdarnya tarbiyahtan memiliki beberapa arti, antara lain mengasuh, mendidik dan memelihara. Di samping kata rabba ada kata-kata yang serumpun dengannya yaitu rabba yang berarti memiliki, memimpin, memperbaiki, menambah. Rabba juga berarti tumbuh atau berkembang.
b. Kata kerja ‘allama yang masdarnya ta’liman berarti mengajar yang lebih bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan, dan keterampilan.
Kata kerja addaba yang masdarnya ta’diban dapat diartikan mendidik yang secara sempit mendidik budi pekerti dan secara lebih luas meningkatkan peradaban. Muhammad Naqib Al-Attas dalam bukunya, konsep Pendidikan islam, dengan gigih mempertahankan penggunaan istilah ta’dib untuk konsep pendidikan islam, bukan tarbiyah, dengan alasan bahwa dalam istilah ta’dib , mencakup wawasan ilmu dan amal yang merupakan esensi pendidikan islam.
Ketiga istilah tersebut (tarbiyah,ta’lim, dan ta’dib) merupakan satu kesatuan yang saling terkait artinya, bila pendidikan dinisbatkan kepada ta’dib ia harus melalui pengajaran (ta’lim) sehingga dengannya diperoleh ilmu. Agar ilmu dapat dipahami, dihayati, dan selanjutnya diamalkan oleh peserta didik perlu bimbingan (tarbiyah).
Istilah tarbiyah masdar dari rabba serumpun dengan akar kata rabb (tuhan). Oleh karenanya tarbiyah yang berarti mendidik dan memelihara implisit di dalamnya istilah rabb (tuhan) sebagai rabb al-‘alamin.
Berkenaan dengan masalah ini ‘Abdur-Rahman an-Nahlawi menjabarkan konsep at-tarbiyah dalam empat unsur;

    1. Memelihara pertumbuhan fitrah manusia
    2. Mengarahkan perkembangan fitrah manusia menuju kesempurnaannya.
    3. Mengembangkan potensi insani (sumber daya manusia) untuk mencapai kualitas tertentu.
    4. Melaksanakan usaha-usaha tersebut secara bertahap sesuai dengan irama perkembangan anak.

Implikasi penggunaan istilah dan konsep tarbiyah dalam pendidikan islam ialah :
1. Pendidikan bersifat humanis-teosentris artinya berorientasi pada fitrah dan kebutuhan dasar manusia, yang diarahkan sesuai dengan sunnah (skenario) tuhan “pencipta”.
2. Pendidikan bernilai ibadah karena tugas pendidikan merupakan bagian tugas dari kekhalifaannya, sedangkan pendidikan yang hakiki adalah Allah “Rabbul’alamin”.
3. Tanggung jawab pendidikan tidak hanya kepada sesama manusia tetapi juga kepada tuhan.
Mengingat betapa luas dan kompleksitasnya risalah islamiyah maka sebenarnya yang dimaksud dengan pengertian pendidikan islam ialah: “Segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kami) sesuai dengan norma islam.”
Pengertian pendidikan islam tersebut sejalan dengan konsepsi baru hasil konperensi dunia pertama tentang pendidikan islam tahun 1977 di Meka, yang menyatakan bahwa pendidikan islam tidak lagi hanya berarti pengajaran teologik atau pengajaran Al-Qur’an, hadits dan fiqih, tetapi memberi arti pendidikan di semua cabang ilmu pengetahuan yang diajarkan dari sudut pandang islam.
Adapaun pengertian pendidikan agama islam ialah “usaha yang lebih khusus ditekankan untuk mengembangkan fitrah keberagaman (religiousitas) subyek didik agar lebih mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran islam.”

C. Fungsi Pendidikan Islam
      
      Dengan pengertian pendidikan islam seperti di atas fungsi pendidikan islam sudah cukup jelas, yaitu memelihara dan mengembangkan fitrah dan sumber daya manusia menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) yakni manusia berkualitas sesuai dengan pandangan islam.
Ditinjau dari segi antropologi budaya dan sosiologi, fungsi pendidikan yang pertama ialah menumbuhkan wawasan yang tepat mengenai manusia dan alam sekitarnya, sehingga dengan demikian dimungkinkan tumbuhnya kemampuan membaca (analisis), kreativitas dalam memajukan hidup dan kedidupannya dan membangun lingkungannya.
Dari kajian antropologi dan sosiologi secara sekilas diatas dapat kita ketahui adanya tiga fungsi pendidikan;

1. Mengembangkan wawasan subjek didik mengenai dirinya dan alam sekitarnya, sehingga dengannya akan timbul kemampuan membaca (analisis), akan mengembangkan kreativitas dan produkstivitas.

2. Melestarikan nilai-nilai insani yang akan menuntun jalan kehidupannya sehingga keberdaannya, baik secara individual maupun sosial, lebih bermakna.

3. Membuka pintu ilmu pengetahuan dan keterampilan yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan dan kemajuan hidup individu maupun sosial.

      Apabila dari kajian antropologi dan sosiologi tersebut dikembalikan pada sudut pandang Al-Qr’an sebagai sumber utama pendidikan islam, maka fungsi pertama dan terutama pendidikan islam adalah memberikan kemampuan membaa (iqra’) pada peserta didik.
Dengan menegembalikan kajian antropologi dan sosiologi ke dalam perspektif al-Qur’an dapat dismpulkan bahwa fungsi pendidikan islam ialah :
    1. Mengembangkan wawasan yang tepat dan benar mengenai jati diri manusia, alam sekitarnya dan mengenai kebesaran ilahi, sehingga tumguh kemampuan membaca (analisis) fenomena alam dan kehidupan serta memahami hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Dengan kemampuan ini akan menumbuhkan kreativitas dan produktivitas sebagai implementasi identifikasi diri pada tuhan “pencipta”.
    2. Menbebaskan manusia dari segala anasir yang dapat merendahkan martabat manusia (fitrah manusia), baik yang datang dari dalam dirinya sendiri maupun dari luar.
    3. Mengembangkan ilmu pengetahuan untuk menopang dan memajukan kehidupan baik individu maupun soaial.
BAB II
Fitrah Manusia Dan Implikasinya Dalam Pendidikan

A. Pengertian Fitrah

      Fitrah berasal dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa dan ansyaa yang artinya mencipta. Biasanya kata fathara, khalaqa dan ansyaa digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan pengertian mencipta sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar (blue print) yang perlu penyempurnaan.
B. Fitrah Manusia
Konsep fitrah manusia yang mengandung pengertian pola dasar kejadian manusia dapat dijelaskan dengan meninjau: (1) Hakekat wujud manusia, (2) Tujuan penciptaannya, (3) Sumber Daya Insani (SDM), (4) Citra manusia dalam islam.
1. Hakekat wujud manusia
      a. Manusia Makhluk Jasmani-Ruhani Yang Paling Mulia
Kemuliaan manusia dapat ditinjau baik dari segi fisik maupun ruhaninya, karena ia adalah makhluk jasmani rohani.
Segi fisik biologis.
Jasad atau fisik manusia asal mulanya dari tanah. Setelah berproses menjadi bentuk manusia dalam Al-Qur’an disebut basyar, (Q.S. al-Hijr; 28) yakni makhluk fisik-biologis. Sebagai makhluk biologis kejadinnya hampir sama dengan makhluk biologis lainnya terutama jenis binatang mamalia, yaitu dari nutfah, ‘alaqah kemudian mudhghah embrio) dan akhirnya terbentuklah janin, yang strukturnya secara gradual lebih sempurna dari binatang. (Q.S. at-: Tin 4 dan al-Mukminun: 13-14).
      b. Manusia makhluk yang suci ketika lahir
Kesucian manusia biasanya dikaitkan dengan kata “fitrah”. Di tinjau dari segi bahasa hal ini sesungguhnya kurang tepat karena pengertian fitrah, sebagaimana telah dijelaskan, ialah asal kejadian atau pola dasar penciptaan. Bila dikaitkan dengan asal kejadiannya, manusia ketika baru lahir memang masih suci dari segala noda dan dosa, walaupun ia lahir dari kedua orang tua yang bergelimang dosa.
      c. Manusia makhluk etis religious
Sebagai rangkaian wujudnya yang suci di kala lahir, tuhan senantiasa akan membimbingnya sengan agama yang sesuai dengan fitrah manusia, Allah berfirman:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (allah) (tetaplah) atas fitrah allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah allah, itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. ar-Rum: 30).
      d. Manusia makhluk individu dan sosial
Karena manusia makhluk individu dan social, maka pendidikan juga sering diartikan sebagai individualisasi dan sosialisasi.
Individualisasi:
Proses pengembangan dan perkembangan individua menjadi pribadi disebut individualisasi, yaitu proses perkembangan seseorang dengan seluruh wujudnya sebagai manusia dengan fitrah dan sumber daya manusianya, sehingga mencapai kualitas tertentu dan mampu bertanggung jawab secara pribadi atas keberadaannya.
Indiviudalisasi memusatkan perhatian secara individual proses pemeliharaan fitrah dan pengembangan SDM.
Sosialisasi
Manusia sebagai makhluk sosial juga berarti setiap individu tidak mungkin hidup layak tanpa terkait dengan kelompok masyarakat manusia lainnya. Itulah sebabnya dalam masyarakat demokratik, masyarakat dan individu saling komplementer. Hal ini dapat diketahui pada:
a. Manusia dipengaruhi oleh masyarakat dalam pembentukan pribadinya.
b. Individu mempengaruhi masyarakat dan bahkan pengaruhnya bisa menimbulkan perubahan besar bagi tatanan masyarakat.
Mengakhiri pembicaraan tentang hakikat wujud manusia menurut pandangan islam, kesimpulan yang diberikan oleh “Abbas Mahmud al-Aqqad kiranya akan memperkuat uraian di atas, yakni :
1. Manusia adalah makhluk mukallaf (makhluk yang diberi amanat/ memikul tanggung jawab).
2. Manusia adalah makhluk yang merupakan gambar tuhan (‘ala suratil-khaliq).
Implikasi pernyataan ini ialah manusia harus siap memikul tanggung jawab atas kekhalifahannya.
Dari hakekat wujudnya sebagai makhluk individu dan sosial dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan islam keberadaan pribadi seseorang adalah:
1. Pribadi yang aktivistik karena tanpa aktivitas dalam masyarakat berarti adanya sama dengan tidak ada (wujuduhu ka ‘adamihi), artinya hanya dengan aktivitas, manusia baru diketahui bagaimana pribadinya.
2. Pribadi yang bertanggung jawab secara luas, baik terhadap dirinya, terhadap lingkungannya, maupun terhadap tuhan.
3. Dengan kesimpulan di atas mengeinplisitkan adanya pandangan rekonstruksionisme (rekonstruksi sosial) dalam pendidikan islam melalui individualisasi dan sosialisasi.
2. Tujuan Penciptaan
a. Tujuan utama penciptaan manusia ialah agar manusia beribadah kepada Allah. (Q.S. Az-Zahriyah: 56).
b. Manusia dicipta untuk diperankan sebagai wakil tuhan di muka bumi. (Q.S. Al-Baqarah: 30, Yunus 14, Al-An’am: 165).
c. Manusia dicipta untuk membentuk masyarakat manusia yang saling kenal-mengenal, hormat menghormati dan tolong-menolong antara satu dengan yang lain (Q.S. Al-Hujurat: 13), tujuan penciptaan yang ketiga ini menegaskan perlunya tanggung jawab bersama dalam menciptakan tatanan kehidupan dunia yang damai.
3. Sumber Daya Manusia
Esensi SDM yang membedakan dengan potensi-potensi yang diberikan kepada makhluk lainnya dan memang sangat tinggi nilainya ialah “kebebasan” dan “hidayah Allah”, yang sesungguhnya inheren dalam fitrah manusia.
4. Citra manusia dalam islam.
Berdasarkan uraian tentang fitrah manusia ditinjau dari hakekat wujudnya, tujuan penciptaannya dan sumber daya insaninya, tergambar secara jelas bagaimana citra manusia menurut pandangan islam:
a. Islam berwawasan optimistik tentang manusia dan sama menolak sama sekali anggapan pesimistik dari sementara filosof eksistensialis yang menganggap manusia sebagai makhluk yang terdampar dan terlantar dalam hidup dan harus bertanggung jawab sendiri sepenuhnya atas eksistensinya.
b. Perjuangan hidup manusia bukan sekedar trial and error belaka tetapi sudah mempunyai arah dan tujuan hidup yang jelas dan yang telah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Bijaksana. Untuk mencapainya manuia telah diberi pedoman serta kemampuan, yakni akal dan agama.
c. Manusia makhluk yang paling mampu bertanggung jawab karena dikaruniai seperangkat alat untuk dapat bertanggung jawab yaitu kebebasan berpikir berkehendak, dan berbuat.

C. Implikasi Fitrah Manusia Dalam Pendidikan

1. Pemberian stimulus dan pendidikan demokratis
Manusia ditinjau dari segi fisik-biologis mungkin boleh dikatakan sudah selesai, “Physically and biologically is finished”, tetapi dari segi rohani, spiritual dan moral memang belum selesai, “morally is unfinished”.
Manusia tidak dapat dipandang sebagai makhluk yang reaktif, melainkan responsif, sehingga ia menjadi makhluk yang responsible (bertanggung jawab). Oleh karena itu pendidikan yang sebenarnya adalah pendidikan yang memberikan stimulus dan dilaksanakan secara demokratis.
2. Kebijakan pendidikan perlu pertimbangan empiris.
Dengan bantuan kajian psikologik, implikasi fitrah manusia dalam pendidikan islam dapat disimpulkan bahwa jasa pendidikan dapat diharapkan sejauh menyangkut development dan becoming sesuai dengan citra manusia menurut pandangan islam

Kisah Nabi Luth a.s dengan Kaumnya


Isu gay, homoseksual dan lesbian, kembali menyeruak. Hubungan yang dulu dianggap jijik dan kotor itu, kini dipaksa dinilai normal dan manusiawi. Para pelaku berjuang agar hubungan mereka legal dalam pernikahan. Sungguh ini mengancam keberlangsungan manusia.

Padahal tahun 1950, tidak ada satu pun negara yang melegalkan dosa warisan kaum Nabi Luth ini. Namun dunia berubah begitu cepat. Amerika telah mensahkan pernikahan ini sejak tahun 2015 lalu. Kemudian tahun ini diikuti oleh belasan atau bahkan puluhan negara lainnya. Brazil lebih “hebat” lagi. Mereka menjadi salah satu yang terdepan, pernikahan gay telah disahkan sejak tahun 2011 di negeri samba itu.

Isu Minoritas dan Diskriminasi

Dalam kondisi minoritas, kaum gay memposisikan diri sebagai orang-orang yang dizalimi. Berharap perhatian dan dihargai. Kata mereka, keluarga dan masyarakat telah memperlakukan mereka tidak adil. Datanglah pembelaan dari aktivis HAM (Hak Asasi Manusia). Para aktivis kemanusiaan yang tidak mengenal fitrah manusia. Mereka membela siapa saja, kecuali umat Islam.

Islam tetap konsisten, kebenaran tidak diukur oleh jumlah. Yang banyak bisa jadi benar, bisa pula berlaku zalim. Yang sedikit bisa saja berpegang teguh dengan kebenaran, dan belum tentu pula selalu benar. Kebenaran adalah apa yang sesuai dengan Alquran dan Sunnah Rasulullah ﷺ.

Dosa Warisan Kaum Luth

Orang-orang pertama yang melakukan dosa homoseksual adalah kaum Nabi Luth ‘alaihissalam. Sebagaimana firman Allah ﷻ,

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ

Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah (keji) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?” (QS:Al-A’raf | Ayat: 80).

إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ

“Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (QS:Al-A’raf | Ayat: 81).

Khalifah bani Umayyah, al-Walid bin Abdul Malik rahimahullah, mengatakan, “Kalau Allah ﷻ tidak berkisah kepada kita tentang Luth, maka aku tidak menyangka ada laki-laki berhubungan dengan laki-laki”. (Tafsir al-Quran al-Azhim).

Jangankan al-Walid bin Abdul Malik, Nabi Luth yang hidup di tengah kaum gay ini dan menyaksikan langsung perbuatan mereka, pun merasa heran. Beliau ‘alaihissalam mengatakan,

أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ

“Apakah kalian patut mendatangi laki-laki?” (QS:Al-‘Ankabuut | Ayat: 29).

Demikianlah fitrah yang Allah ﷻ berikan kepada orang-orang shalih dan memiliki kehormatan.

Ketika Kaum Gay Mayoritas

Jika kita perhatikan sejarah, sekelompok orang atau kaum akan terlihat watak aslinya ketika mereka memiliki power. Apakah mereka menggunakan kekuatan yang mereka punya untuk kebaikan ataukah untuk keburukan?

Kita lihat orang-orang Yahudi. Mengemis kepada rakyat Palestina saat pertama kali datang ke sana. Mereka bentangkan spanduk di kapal-kapal yang membwa mereka berlabuh di tanah Kan’an. Berharap masyarakat Arab, khususnya Palestina, tidak mengecewakan mereka sebagaimana orang-orang Jermah telah melakukannya. Sekarang? Dunia pun habis cara menyembunyikan kekejaman mereka.

Kita juga saksikan minoritas orang-orang Syiah di negeri ini, merasa dizalimi sebagai minoriti. Bacalah apa yang dilakukan Daulah Fatimiyah (Ubaidiyah). Lihatlah apa yang terjadi di Irak dan Suriah. Mereka menampakkawa keasliannya.

Cara yang sama dipakai oleh kaum gay. Menjeriti kezaliman saat mereka sedikit. Saat mereka banyak? Mereka menyiksa, mengancam, bahkan memperkosa kaum laki-laki. Alquran telah bercerita tentang mereka. Mereka usir orang-orang yang menentang mereka. Mereka sebut yang mengingatkan mereka sebagai orang-orang “sok suci”.

– Melakukan ancaman

Saat minoritas mereka menuntut toleransi. Namun saat mayoritas, mereka mengancam orang-orang yang berbeda dengan mereka.

قَالُوا لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ يَا لُوطُ لَتَكُونَنَّ مِنَ الْمُخْرَجِينَ

Mereka menjawab: “Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, benar-benar kamu termasuk orang-orang yang diusir” (QS:Asy-Syu’araa | Ayat: 167).

– Melakukan pengusiran

وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ ۖ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ

Jawab kaumnya idak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri”. (QS:Al-A’raf | Ayat: 82).

فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوا آلَ لُوطٍ مِنْ قَرْيَتِكُمْ ۖ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ

“Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: “Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (mendakwakan dirinya) bersih”.” (QS:An-Naml | Ayat: 56).

Jadi, lagu lama para pembela kebatilan adalah menuduh orang-orang baik dengan “sok suci”.

– Mencoba memerkosa tamu-tamu Nabi Luth

Setelah mereka mengetahui di rumah Nabi Luth ‘alaihissalam ada beberapa orang laki-laki tampan, mereka bersegera datang ke sana. Bahkan mendobrak pintu rumah, untuk menjumpai para tamu, dan mendapatkan apa yang diinginkan.

وَجَاءَهُ قَوْمُهُ يُهْرَعُونَ إِلَيْهِ وَمِنْ قَبْلُ كَانُوا يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ ۚ قَالَ يَا قَوْمِ هَٰؤُلَاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ ۖ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَلَا تُخْزُونِ فِي ضَيْفِي ۖ أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ

Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata: “Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?” (QS:Huud | Ayat: 78).

وَلَقَدْ رَاوَدُوهُ عَنْ ضَيْفِهِ فَطَمَسْنَا أَعْيُنَهُمْ فَذُوقُوا عَذَابِي وَنُذُرِ

“Dan sesungguhnya mereka telah membujuknya (agar menyerahkan) tamunya (kepada mereka), lalu Kami butakan mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku.” (QS:Al-Qamar | Ayat: 37).

Saya yakin, laki-laki pembela LGBT pun tidak mau diperkosa oleh kaum gay.

Penutup

Di antara kebohongan para pembela kebatilan adalah tuntutan kesetaraan, penghargaan, dan toleransi. Padahal merekalah orang-orang yang tidak menloransi orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka. Contoh sederhananya, ketika Anda mengkampanyekan anti LGBT di sosial mediat seperti facebook, maka pendapat Anda tidak akan diterima, Anda akan diblokir. Atau dengan kata lain diusir dari komunitas facebook.

Prilaku kaum Nabi Luth tidak layak mendapat dukungan. Dukungan yang terbaik untuk mereka adalah dorongan agar mereka sembuh dan mau mengkonsultasikan penyimpangan mereka ke psikiater atau pihak-pihak kompeten lainnya.

Daftar Pustaka:
– al-Khamis, Muhammad bin Utsman. 2010. Fabihudahum Iqtadih. Kuwait: Dar al-Ilaf li an-Nasyr wa at-Tauzi’
– al-Katsir, Ibunu. Tafsir al-Quran al-Azhim: http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=526&idto=526&bk_no=49&ID=535


Perkembangan Pemikiran Dalam Islam

 
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Menurut Nourouzzaman Shiddiqie dalam Samsul Munir Amin, mengatakan bahwa sejarah berjalan dari masa lalu, ke masa kini, dan melanjutkan perjalanannya ke masa depan. Dalam perjalanan sesuatu unit sejarah selalu mengalami pasang naik dan pasang surut dalam interval yang berbeda-beda. Di samping itu, mempelajari sejarah yang sudah berjalan cukup panjang akan mengalami kesulitan-kesulitan jika dibagi ke dalam beberapa babakan di mana setiap babakan merupakan satu komponen yang mempunyai ciri-ciri khusus dan merupakan satu kebulatan untuk satu jangka waktu. Rangkaian inilah yang dinamakan periodesasi sejarah
Sejarah mencatat kondisi kebesaran Islam berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, di mana pada waktu itu dunia Islam menjadi kiblat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia.  Sejarah merupakan catatan peristiwa yang terjadi di masa lampau. Dengan belajar sejarah, dalam hal ini sejarah kebudayaan atau peradaban Islam berarti mengenal kembali segala peristiwa yang terjadi dan dialami umat Islam baik berupa perkembangan, kemajuan maupun kemundurannya. Kajiannya berarti menyangkut peristiwa-peristiwa dan kejadian yang terjadi pada masa lalu (everything in the past), baik menyangkut dimensi sosial, politik, pemerintah, ekonomi, seni budaya maupun agama.
Sejak awal perkembangannya, Islam tumbuh dalam pergumulan dengan pemikiran dan peradaban umat manusia yang dilewatinya dan karena terlibat dalam proses dialektika yang di dalamnya terjadi pengambilan dan pemberian. Dari kebudayaan Arab, Islam telah mengambil dan lebih tepatnya dikatakan memelihara dan mengembangkan beberapa hal seperti sistem moral, tata pergaulan dan hukum keluarga, serta sistem politik pun diambil dari kebudayaan Arab. Sebaliknya, Islam memberikan kemungkinan bagi sastra Arab untuk berkembang mengatasi perkembangannya pada masa sebelumnya Al-Qur’an dan al-Sunnah memberikan perubahan yang nyata bagi bangsa Arab dan bangsa-bangsa yang memeluk Islam pandangan dunia, tujuan hidup, peribadatan dan sebagainya yang kemudian merupakan bagian utama dari pemikiran dan peradaban Islam. Itu semua didukung oleh kreativitas umat Islam sendiri yang memang diberi ruang yang luas untuk bergerak


B.    Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut :
1.    Apa Pengertian Definisi Pemikiran Islam
2.    Bagaimana Pemikiran Tokoh Sebelum Abad 20 dan Sesudah Abad 20
3.    Bagaimana Pemikiran Tokoh Islam di Aceh
 
C.    Tujuan
Tujuan yang ingin kami peroleh dari pembuatan makalah ini adalah :
1.    Untuk mengetahui definisi dari perubahan sosial dalam masyarakat.
2.    Untuk  mengetahui pendapat para ahli tentang perubahan sosial.
3.    Untuk mengetahui tipe-tipe perubahan sosial.
4.    Untuk mengetahui perubahan sosial yang terjadi di lingkungan.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Definisi Pemikiran Islam
Suatu definisi yang benar haruslah memenuhi kriteria jaami 'an dan maani 'an. Maksudnya menyeluruh (jaami 'an) bagi seluruh bagian-bagian dan sifat-sifat dari sesuatu yang didefinisikan, dan mencegah (maani 'an) masuknya makna asing ke dalam sesuatu yang didefinisikan. Berdasarkan hal itu maka dipilihiah pengertian berikut untuk pemikiran Islam, yakni bahwa pemikiran Islam adalah al hukmu 'alaa al waaqi' min wijhati nazhar il islaam (hukum/penilaian terhadap suatu fakta berdasarkan sudut pandang Islam).
Unsur-unsur pemikiran Islam itu ada tiga, yakni fakta (al waaqi'), hukum (al hukmu), dan hubungan antara fakta dengan hukum. Fakta itu sendiri dapat berupa suatu benda dan dapat berupa perbuatan. Jika fakta itu berupa benda maka hukumnya ada dua macam, yakni mubah (halal) dan haram. Misalnya buah anggur yang hukumnya mubah dan khamer yang hukumnya haram. Ada sebuah kaidah syara' yang diambil dari nash-nash Al Quran dan al hadits: “Hukum asal setiap benda adalah mubah, sampai datang dalil yang mengharamkannya”. Sedangkan jika fakta itu berupa perbuatan, maka hukumnya ada lima, yakni fardhu (wajib), mandub (sunnah), mubah, makruh dan haram. Misalnya puasa Ramadhan hukumnya wajib, shadaqah hukumnya sunnah (mandub), makan roti mubah, berbicara di WC makruh dan riba itu haram.
Definisi Pemikiran Islam
Unsur-unsur pemikiran Islam itu ada tiga, yakni fakta (al waaqi'), hukum (al hukmu), dan hubungan antara fakta dengan hukum. Secara etimologi pemikiran dari kata dasar “pikir” yang berarti proses, cara, atau perbuatan memikir, yaitu menggunakan akal budi untuk memutuskan suatu persoalan dengan mempertimbangkan segala sesuatu secara bijaksana. Pemikiran juga bisa diartikan sebagai upaya cerdas dan proses kerja akal dan kalbu untuk melihat fenomena dan berusaha mencari penyelesaiannya secara bijaksana.  
Bahasa Inggrisnya pula ialah think (thougt), perkataan berfikir kini digunakan secara meluas. Dasar perkataan fikir berasal dari perkataan Arab ‘fakkara’, ‘yufakkiru’, ‘tafkiran’.  Sebahagian ahli bahasa mengatakannya daripada wazan ‘dharaba’ yaitu ‘fakara’, ‘fakiru’, ‘fakran’ atau ‘fikran’. Jelasnya perkataan fikir berasal daripada perkataan ‘al-fikr’. Dalam al-Quran, perkataan fikir tidak disebut dalam bentuk kata nama. Tegasnya dalam al-Quran, perkataan fikir disebut dalam bentuk fi’il madhi (perbuatan yang telah lepas) dan mudhari’ (perbuatan yang sedang dilakukan), sighah mukhatab dan ghaib (kata ganti diri kedua dan ketiga). Misalnya fakkara dan tatafakkarun.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “pikir”artinya akal budi; ingatan; angan-angan, sedangkan pemikiran adalah cara atau hasil berpikir.  Sementara itu, menurut M. Abdul Karim kata “pikir” berasal dari Bahasa Arab “fakkara” yakni amal ‘aqla fiihi, wa rattaba ba’dha ma ya’lamu, liyahshila ila al-majhul artinya mempergunakan daya akal terhadap sesuatu, mengatur sebagian yang sudah diketahui.  Lebih lanjut M. Abdul Karim mengatakan bahwa pemikiran dalam pengertian yang tersebar di kalangan ilmuwan atau cendikiawan dibagi dua golongan besar. Pertama, pemikiran secara eksoteris, yaitu pemikiran yang diarahkan ke dunia luar (diluar dirinya) atau istilah falsafi pemikiran dari mikrokosmos ke arah makrokosmos secara mendalam, bebas, dan teliti tanpa terikat pada ajaran-ajaran ataupun dogma dengan tujuan untuk memperoleh keyakinan yang nyata-nyata tentang obyek yang menjadi pemikiran. Kedua, pemikiran secara esoteris, yaitu pemikiran yang ditujukan ke arah bagian terdalam dalam dirinya (pemikiran esensi).
Sementara itu, menurut M. Abdul Karim, pemikiran Islam ialah kegiatan manusia dalam mencari hubungan sebab akibat ataupun asal mula dari suatu materi ataupun esensi serta renungan terhadap suatu wujud, baik materinya maupun esensinya lebih lanjut M. Abdul Karim, mengatakan selama pemikiran yang diupayakan setiap pemikir muslim, dalam bidang apa pun (theologi, ibadah, politik, etika, filsafat, mistik, ekonomi, dll), berada dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Sunnah Nabi, maka pemikiran tersebut dapat disebut pemikiran Islam.
Dengan demikian pemikiran Islam adalah pemikiran yang berjiwa Islam, yakni pemikiran yang berlandaskan al-Quran dan al-Hadis. Al-Quran merupakan kitab suci umat Islam yang diturunkan melalui wahyu Allah kepada Nabi Muhammad Saw, sedangkan Hadis adalah sabda, perbuatan, dan ketetapan (takrir) Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh sahabat untuk menjelaskan dan menentukan hukum Islam.

B.    Pemikiran Tokoh Sebelum Abad 20 dan Sesudah Abad 20
Di abad 650-1250 M Islam meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan melalui Persia sampai ke India di Timur. Daerah-daerah itu tunduk kepada kekuasaan Khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di Damaskus dan terakhir di Baghdad.
Periode klasik ini dimulai dengan periode peletakan pondasi peradaban oleh Nabi Muhammad saw yang kemudian diteruskan oleh khulafaur rasyidin dan dikembangkan era daulah (dinasti) Bani Umayyah. Dalam mendeskripsikan sejarah penyebaran Islam periode khilafah awal, maka analisis weberian dianggap cukup relevan. Max Weber menekankan bahwa faktor ide atau gagasan atau pemikiran merupakan faktor yang sangat menentukan adanya perubahan sosial.       Dalam konteks ini, ide-ide yang terkandung dalam al-Qur’an mempengaruhi struktur sosial kemasyarakatan dan membentuk struktur baru. Kehadiran Nabi Muhammad dengan nilai-nilai baru telah mempengaruhi struktur sosial masa itu hingga dewasa ini. Bahkan, tatanan dunia secara keseluruhan tidak dapat dilepaskan dari gagasan-gagasan yang terinspirasi dari al-Qur’an yang dibawa Nabi. Ide-ide atau gagasan pemikiran itu tentunya baru terlihat memiliki arti sosial jika sudah diwujudkan dalam berbagai pergumulan dan perubahan budaya. Dari proses inilah, kemudian peradaban Islam muncul sebagai peradaban baru dalam kancah dunia internasional. Kehadiran Nabi Muhammad membawa perubahan dalam tatanan sosial masyarakat Arab. Ide dan gagasan Nabi yang tersurat dalam al-Qur’an menjadi inspirasi untuk menuju tatanan kehidupan yang lebih mapan dan beradab. Pengaruh nilai dan moralitas al-Qur’an yang dibawa Nabi termanifestasi dalam sejarah dan peradaban Islam. Sejak mendapatkan wahyu langit dalam ‘uzlah (pengasingan) di gua Hira’ tahun 610 M., Nabi Muhammad mulai berbicara atas nama Allah swt. dan memproklamirkan Islam sebagai agama Tauhid untuk kemaslahatan umat manusia dan rahmat bagi alam semesta. Sejak inilah Nabi mulai membentuk sebuah komunitas masyarakat keagamaan dalam ikatan semangat tauhid. Nabi Muhammad mulai mendapatkan perlawanan dan tantangan keras dari masyarakat paganisme di Mekkah dan dianggapnya sebagai orang yang terserang penyakit syaraf, gila dan sebagainya. Nabi Muhammad dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah suku Quraisy Mekkah, tetapi reformasi teologi, reformasi kultural, dan reformasi sosial yang dibawanya berdasarkan wahyu Allah, dianggap memiliki peran penting dalam membangun tatanan sosial-politik dan tradisi kaum Quraisy.
Komunitas tauhid yang dibangun awalnya hanya terdiri dari segelintir orang yang kemudian disebut dengan generasi muslim awal (al-sabiqun a;-awwalun). Generasi muslim awal ini didominasi oleh kalangan muda. Hal ini secara historis-empiris menunjukkan bahwa ajaran yang dibawa Nabi bersifat reformatif dan counter terhadap tradisi yang stagnan sehingga diikuti oleh kalangan muda. Dalam paradigma sejarah peradaban dan politik, kalangan muda sering diartikan sebagai representasi kalangan kritis, dinamis, dan anti status quo.     Selain itu, hijrah Nabi dan umat Islam yang masih berjumlah sedikit dari Mekkah ke Madinah juga memberikan kontribusi penting dalam proses pembentukan peradaban. Hijrah berdampak positif bagi perkembangan kegiatan intelektual umat Islam. Mereka lebih leluasa untuk mengembangkan pengetahuannya sebagaimana yang memang ditekankan oleh Nabi dalam berbagai hadisnya. Ekspansi yang dilakukan oleh pemegang estafet pemerintahan selanjutnya Khulafa’ Al-Rasyidin, Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah secara garis besar memiliki peranan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Menurut Ibnu Khaldun, pertumbuhan dan perkembangan ilmu yang amat terkait erat dengan luasnya wilayah dan beragamnya budaya maupun ilmu yang ada di daerah-daerah yang dikuasai Islam.  Secara pasti, ekspansi Islam menyebabkan terjadinya kontak antara Islam dengan kebudayaan Barat, atau tegasnya dengan kebudayaan Yunani Klasik yang terdapat di Mesir, Suria, Mesopotamia dan Persia.
Pada era klasik ini metode berfikir rasional, ilmiah dan filosofis berkembang dengan pesat. Sentuhan estetika dan filsafat telah menghantarkan peradaban Islam pada puncak kejayaan. Ulama’-ulama’ mujtahid bermunculan, begitu juga para ilmuwan muslim telah menghasilkan karya-karya seni, filsafat dan ilmu pengetahuan secara mengagumkan.
Di masa Bani Abbas inilah perhatian kepada ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani memuncak terutama di zaman Harun Al-Rasyid (785-809 M) dan Al-Ma’mun (813-833 M). Buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat didatangkan dari Bizantium dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kegiatan penterjemahan buku-buku ini berjalan kira-kira satu abad. Bait Al-Hikmah, yang didirikan Al-Ma’mun, bukan hanya merupakan pusat penterjemahan tetapi juga akademi yang mempunyai perpustakaan. Di antara cabang-cabang ilmu pengetahuan yang diutamakan dalam Bait Al-Hikmah ialah ilmu kedokteran, matematika, optika, geografi, fisika, astronomi, dan sejarah di samping filsafat.  Maka kemudian muncul beberapa ilmuwan muslim terkenal dan menjadi kebanggaan dunia Islam seperti; Al-Fazari (Abad VII) sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun Astronomi (alat yang dahulu dipakai untuk mengukur tinggi bintang-bintang dan sebagainya; Al-Fargani (di Eropa dikenal dengan sebutan Al-Fragnus) adalah pengarang ringkasan tentang ilmu astronomi; Dalam bidang optika, Abu Ali Al-Hasan Ibn Al-Haytham (Abad X) terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata yang mengirim cahaya kepada benda yang dilihat. Menurutnya, bendalah yang mengirim cahaya ke mata dan karena menerima cahaya itu, mata bisa melihat benda yang bersangkutan. Dalam bidang Kimia, Jabir ibn Hayyan (w. 813 M) dikenal sebagai bapak Kimia. Abu Bakar Zakaria Al-Razi (w. 925 M) adalah pengarang buku besar tentang kimia yang baru dijumpai di abad XX dan juga penemu di bidang ilmu kedokteran dan farmasi. Di zaman ini pula lahir ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ibn Hambal dalam bidang hukum; Imam Asy’ari, Imam Al-Maturidi, pemuka-pemuka Mu’tazilah seperti Wasil Ibn ‘Ata’, Abu Al- Huzail, Al-Nazzam, dan Al-Zuba’i dalam bidang teologi; Dzunnun Al-Mishri, Abu Yazid Al-Bustami dan Al- Hallaj dalam mistisisme atau tasawwuf; Al- Kindi, Al- Farabi, Ibn Sina dan Ibnu Miskawih .
C.    Pemikiran Tokoh Islam di Aceh
Sumber-sumber sejarah tentang kegitan islamisasi di Nusantara ini sangat sedikit, dan secara keseluruhan catatan-catatan sejarah tentang pengislaman di dalam literatur dan tradisi melayu masih simpang siur dan beragam keterangannya. Oleh karena itu, banyak hal-hal yang sukar terpecahkan sehingga sejarah di Nusantara banyak yang bersifat perkiraan. Mencari ketepatan kapan masuknya Islam ke Nusantara sangat sulit. Menentukan masuknya Islam di Nusantara biasanya dikaitkan dengan kegiatan perdagangan antara dunia Arab dengan Asia Timur. Banyak yang memperkirakan bahwa kontak antara Nusantara dengan Islam terjadi sejak abad ke- 7 Masehi. Dalam seminar Sejarah Masuknya Islam yang berlangsung di Medan tahun 1963 yang dikukuhkan lagi dengan seminar Sejarah Islam di Banda Aceh tahun 1978 menyimpulkan bahwa masuknya Islam ke Nusantara abad ke-1 Hijriyah langsung dari tanah Arab. Di samping itu ada juga yang berpendapat bahwa Islam masuk pada abad ke- 13 Masehi.
Ada satu persoalan lain yang menjadi perdebatan dan sulit dipastikan adalah persoalan dimana Islam pertama sekali masuk. Ada yang mengatakan di Jaya, dan ada yang mengatakan di Barus, namun demikian ahli sejarah sependapat bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui pesisir Sumatera Utara, yaitu melalui Samudera Pasai (Aceh).
Sebagaimana yang terjadi di daerah-daerah lain di Asia Tenggara, Islam tersebar di Nusantara melalui tiga metode, yaitu pengislaman oleh pedagang Muslim melalui jalur perdagangan yang damai, oleh para da’i yang datang ke Indonesia, dan dengan melalui kekuasaan. Pengislaman yang dilakukan oleh para pedagang terjadi sejak kontak paling awal antara Islam dengan daerah-daerah pesisir pantai Sumatera Utara. Pantai Sumatera Utara merupakan pesinggahan saudagar-saudagar Muslim yang menuju ke asia Timur melalui Selat Malaka. Mereka yang singgah di pesisir Sumatera Utara membentuk masyarakat muslim. Tidak tertutup kemungkinan di antara mereka menjalin hubungan perkawinan dengan penduduk pribumi atau menyebarkan Islam sambil berdagang, sehingga lama kelamaan penduduk setempat memeluk Islam.
Kegiatan pengislaman berikutnya dilakukan oleh ulama-ulama yang turut dalam kapal-kapal dagang. Mereka mempunyai tujuan khusus untuk menyebarkan Islam. Tome Pires, yang pernah mengunjungi Pasai, menceritakan dalam bukunya Suma Oriental bahwa banyak orang Moor tersebut, (istilah dalam bahasa Portugis untuk menyebut orang-orang yang terusir dari bumi Spanyol) dan di Filipina orang-orang Islam disebut bangsa Moro, yang menebar islam dan muncullah (ulama) yang berusaha keras dan mendorong Raja Pasai (Meurah Silu) masuk Islam. Pernyataan masuk Islam seorang raja mempunyai nilai tersendiri bagi proses islamisasi. Tidak lama setelah itu, keislamannya akan diikuti oleh rakyat, dan berikutnya dilakukan penyebaran Islam melalui pemakluman perang terhadap kerajaan-kerajaan yang kafir.
Menurut A. Hasyimy, kerajaan Islam pertama di Sumatera Utara adalah Kerajaan Perlak yang muncul pada abad ke-9 Masehi. Kerajaan Perlak mempunyai pengaruh keislaman bagi daerah-daerah di sekitarnya. Banyak ulama Perlak yang berhasil menyebarkan Islam ke luar Perlak, misalnya sekelompok Da’i Perlak dapat mengislamkan raja Benua. Para ulama Perlak, tokoh-tokoh, pemimpin, dan keluarga raja Perlak banyak yang pindah ke lingga setelah penyerangan Sriwijaya, sehingga mereka membentuk masyarakat Muslim di sana dan dengan demikian maka berdirilah kerajaan Islam Lingga. Selain Perlak kerajaan Islam yang terpenting di Sumatera Utara adalah Samudera . Sumber-sumber Cina menyebutkan bahwa pada tahun 1282 kerajaan kecil Samudera telah mengirim duta-duta dengan nama muslim.
Samudera merupakan daerah kecil yang terletak di muara Sungai Peusangan dan mempunyai peranan penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Selain itu Samudera menjadi pusat pengembangan pengetahuan agama, dimana teolog-teolog, ahli ilmu kalam, yang datang dari Arab dan Persia, sering melakukan diskusi tentang teologi dan mengkaji kajian Islam di istana sultan. Reputasi Samudera kemudian beralih ke Pasai dan menjadi pusat keilmuan. Upaya islamisasi terus digiatkan sehingga Pasai memiliki pengaruh keislaman yang kuat dan menjadi pusat tamaddun Islam di saat itu. Kerajaan Pasai mengalami kemunduran diakhir tahun 1521 dimana terjadi penyerangan oleh Portugis. Sultan Ali Mughayatsyah sebagai sultan Kerajaan Darussalam pada masa itu membantu Pasai menggempur Portugis dan merampas wilayah Pasai.Kemudian mempersatukan dengan kerajaan Darussalam sehingga memproklamirkan menjadi Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1524.
Pasca leburnya Samudera Pasai ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam membuat Aceh tampil sebagai kekuatan yang menyeluruh dan terpadu baik di bidang politik, maupun ekonomi, bahkan di bidang pemikiran islam mulai abad 16 sampai abad 18 dan puncak kejayaannya berlangsung pada abad ke- 17. Kejayaan dan kemajuan yang dicapai oleh Aceh menyebabkan berdatangan ulama-ulama dari Arab, Persia atau India menjalin hubungan demi pengembangan keilmuan di Aceh. Di Aceh telah lahir ulama-ulama besar yang membaktikan diri mereka dalam renungan dakwatul islam sehingga lahirlah khazanah keilmuan dan wacana intelektual keagamaan. Semua itu membuat Aceh patut diperhitungkan dalam “peta pemikiran Islam di Nusantara. Mekar dan maraknya pemikiran keagamaan menjadikan Aceh pusat keilmuan Islam di Nusantara, sehingga banyak orang Islam dari berbagai daerah di Nusantara datang ke Aceh untuk belajar kepada ulama-ulama besar Aceh. Murid-murid yang belajar ke Aceh nantinya kembali ke daerah masing-masing, untuk menyebarkan Islam, ilmu bahkan tarekat.. Mereka merupakan anak panah penyebaran Islam dan tradisi keilmuan yang berkembang di Aceh. Selain itu kedudukan Aceh sebagai persinggahan jamaah haji Indonesia telah menjadikan Aceh posisi istimewa bagi penyebaran dan perkembangan ilmu pengetahuan dan pengajaran agama Islam. Kehadiran jemaah haji di Aceh sambil menunggu pemberangkatan ke Haramain sering dimanfaatkan untuk belajar ilmu keagamaan.
Tokoh Ulama-ulama Aceh dan Karyanya
Untuk melihat pengaruh Aceh dalam keagamaan dan keilmuan di Aceh, Berikut ini akan dijelaskan secara singkat figur ulama-ulama Penyebar Islam di Aceh dan buah karyanya serta peran mereka dalam pengembangan keilmuan di Nusantara.
1.    Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri adalah seorang ulama dan sufi besar pertama di Aceh. Beliau adalah penulis produktif yang menghasilkan karya risalah keagamaan dan juga prosa yang sarat dengan ide-ide mistis. Selain itu aktif menulis karya-karya tentang tasawuf pada paruh ke dua abad ke- 16. dan menguasai bahasa Arab, bahasa Parsi, disamping juga menguasai bahasa Urdu. Paham tasawuf yang dibawanya adalah Wujudiyah. Kepopuleran nama Hamzah Fansuri tidak diragukan lagi, banyak pakar telah mengkaji keberadaan Hamzah yang sangat popular lewat karya-karyanya yang monumental. Namun mengenai dimana dan kapan persisnya Hamzah lahir, sampai saat ini masih menjadi pertanyaan dan perbedaan pendapat para ahli sejarah. Hal itu disebabkan karena belum terdapat catatan yang pasti tentang hal tersebut. Satu-satunya data yang dapat dihubungkan dengan tempat kelahiran Hamzah adalah Fansur, yang merupakan suatu tempat yang terletak antara Sibolga dan Singkel. Dari sebutan namanya Hamzah Fansuri, yang berarti Hamzah dari Fansur, yang menunjukkan bahwa Hamzah memang berasal dari Fansur yang merupakan pusat pengetahuan Islam lama di Aceh bagian Barat Daya. Hal yang sama dikatakan oleh Francois Valentijn bahwa Hamzah Fansuri seorang penyair Melayu termasyhur yang dilahirkan di Fansur (Barus) sehingga negeri tersebut terkenal dikarenakan syair-syair Melayu gubahannya. Namun menurut Syech Muhammad Naguib Al-Attas berpendapat bahwa Hamzah lahir di Syahrawi, Ayuthia Ibukota Siam lama hal ini didasarkan pada syairnya :
“Hamzah asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Syahrawi
Beroleh khilafah ilmu yang ‘adil
Daripada Abdul Qadir Sayid Jailani”
Dalam hal ini pada bait ke dua mendapat wujud di tanah Syahrawi dipahami sebagai Hamzah lahir di sana. Namun pendapat L.F. Brekel, Drewes mengatakan bahwa wujud dalam bait kedua itu diartikan bahwa Hamzah hendak mengatakan di syahrawilah dia bertemu dengan Tuhan. Artinya hamzah memulai mempelajari tarekat Wujudiayah. Kontroversi mengenai tempat kelahiran Hamzah seorang ulama besar ini memang tidak akan pernah selesai, karena data yang ada masih dipertentangkan dan belum ada yang akurat, hanya berdasarkan perkiraan-perkiraan yang dikait-kaitkan dengan karya-karyanya. Hamzah fansuri diperkirakan hidup dan berkiprah sebelum dan selama pemerintahan Sultan Alaiddin Ali Ri’ayatsyah Saidil Mukammil (1588-1604). Kraemer berpendapat bahwa Hamzah hidup pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat syah Almukammil sampai masa awal Iskandar Muda, atau paling tidak hingga tahun 1620 M.
2.    Syamsudin al-Sumatrani
Sufi besar yang muncul di Aceh sesudah Hamzah Fansuri ialah Syamsudin Al-Sumatrani, atau yang juga dikenal sebagai Syamsudin Pasai karena berasal dari Pasai. Sebagai penulis risalah tasawuf dia lebih produktif daripada pendahulunya itu. Banyak mengarang kitabnya dalam bahasa Melayu dan Arab. Syamsudin Pasai ini seorang ulama dan sangat disayangi sultan Iskandar Muda, sehingga ia diangkat sebagai pembantu dekatnya, Seorang pelawat Eropa yang berkunjung ke Aceh mengatakan bahwa Syamsudin sebagai bishop yang berarti seseorang mempunyai kedudukan tinggi di istana Aceh. Di samping itu ia seorang ahli politik dan ketatanegaraan seperti Bukhari al-Jauhari pengarang kitab Tajul al-Salatin.
Dalam penulisan sastra, peranan Syamsudin terutama dalam upayanya mengembangkan kritik sastra secara hermenuitika sufi (ta’wil) yang telah berkembang sejak abad 11 M. Karyanya yang menggunakan metode ta’wil ini tampak dalam risalahnya yaitu Syarah Ruba’I Hamzah Fansuri.Ta’wil merupakan metode penafsiran sastra yang melihat teks puisi sebagai ungkapan kata-kata simbolik dan metaforik yang maknanya berlapis-lapis (makna lahir, makna bathin, dan makna isyarah atau sugestif). Bahasa Melayu yang digunakan Syamsudin dalam karyanya tidak jauh berbeda dari bahasa Melayu yang digunakan penulis kitab sastra dalam abad 17-19 M.
Karya-karyanya antara lain adalah:
-. Mir’at al-Mukminin (Cermin orang beriman),
– Jauhar al-Haqaiq (Permata Kebenaran),
– Kitab al-Haraka,
– Mir’at al-Iman,
– Kitab al-Martaba (Martabat manusia),
– Mir’at al- Muhaqqiqin,
– Syarah Ruba’I Hamzah fansuri,
– Thariq al-Salihin, dan lain-lain.
Ajaran yang dibawa Syamsudin ini berakar pada pada ajaran Ibnu ‘Arabi dan menganut faham martabat tujuh yang diperoleh dari Al-Tufah al- Mursalah ila Ruhin Nabi, karya Muhammad Fadhlullah al-Burhanpuri dari India. Sultan Iskandar Muda sangat tertarik dengan ajaran tasawuf yang dibawa oleh Syamsudin Pasai sehingga beliau termasuk salah seorang pengikut faham wujudiyah. Sejumlah karyanya yang dipersembahkan untuk sultan Iskandar Muda antara lain Kitab Thariq al-Salihin dan Nur al-Daqaiq. Syamsudin Pasai meninggal dunia pada tahun 1630 M. bertepatan dengan Armada Aceh mengalami kekalahan di Malaka.



3.    Nuruddi Ar-Raniri.
Ulama dan sastrawan ini berasal dari Ranir, lahir pada tahun 1568 M. di sebuah kota pelabuhan di pantai Gujarat.  Ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadhramaut. Sedangkan ibuya adalah seorang Melayu. Ar-Raniri lebih dikenal sbagai ulama besar Melayu-Indonesia daripada India dan Arab. Karena sejak kecil sudah tertarik dan senang mempelajari bahasa melayu, sehingga tumbuhlah ia menjadi seorang yang sangat mencintai dunia Melayu. Iapun telah mengabdikan dirinya demi kepentingan Islam di Nusantara dengan mendapat kepercayaan dari seorang sultan pada kesultanan Aceh. Hatinya sangat tertarik dengan dunia Melayu. Setelah beberapa lama menimba ilmu ke Timur Tengah, ia berangkat ke Aceh pada tahun 1637 M. dan mendapat kepercayaan dari sultan Iskandar Thani, sebagai Syaikhul Islam. Setelah mendapat posisi yang kuat di Aceh, Ar-Raniri kemudian melancarkan pembaharuan Islam dengan radikal. Ia menentang paham Wujudiyah yang dibawa oleh Hamzah Fansuri dan Syamsudin Al-Sumatrani. Ar-Raniri menuduh mereka berdua telah sesat dan menyimpang dari ajaran Islam. Orang-orang yang menolak melepaskan keyakinannya yang sesat akan dibunuh, dan banyak buku/kitab-kitab Hamzah Fansuri dibakar.
Dalam pembaharuannya, Ar-Raniri memperkenalkan corak keilmuan dan wacana keagamaan yang baru. Meskipun ia juga seorang penganut Wujudiah dan pengikut Ibnu ‘Arabi, namun dalam menafsirkan ajaran wujudiyah ia ketat bertolak pada syariat dan fikih. Paham wujudiyah yang dianutnya tidak hanya penekanan pada tasawuf saja, tetapi juga menjelaskan kepada kaum Muslim Nusantara dasar-dasar keimanan, aturan-aturan fikih, perbandingan agama, pentingnya hadis, serta sejarah. Untuk menjelaskan semua itu, ia menerjemahkan dan menyusun kitab-kitab yang membahas berbagai macam pengetahuan dan sastra sesuai dengan kondisi umat Islam-pada saat itu. Karya-karyanya cukup banyak lebih dari 40 kitab antara lain :
-Sirat- al-Mustaqim (Jalan Lurus), merupakan kitab fikih yang pertama dan lengkap ditulis dalam bahasa melayu.
-Daral al- Faraid, membahas tentang tauhid dan falsafah keimanan.
-Lata’ih al-Asrar,
-Hall al-Dzill ma’a Sahabihi,
-Umdat al- I’tiqad,
-Hujaj al-Sidiq,
-Jauhar al-‘Ulum,
-Ma’al Hayat, dan lain-lain.
-Bustanus al-Salatin, (Taman Para Raja), nama lengkapnya kitab ini adalah Bustanu al-Salatin fi al-Awwaliin wa al-Akhirin. Kitab ini disusun atas permintaan Sultan Iskandar Thani, yang berisi masalah ketatanegaraan dan sejarah. Kitab ini merupakan penyempurnaan dari kitab Tajul al-Salatin (Mahkota Raja-raja) yang dikarang oleh Bukhari Al-Jauhari. Kitab Bustanussalatin ini tidak hanya membahas tentang ketatanegaraan, sejarah saja tetapi juga memuat eskatologi, dan berbagai persoalan lain yang berkaitan dengan fikih, tasawuf dan usuluddin. Karena tebalnya kitab ini sampai kini tidak diterbitkan secara utuh, hanya bagian bab demi bab saja diterbitkan dalam buku terpisah. Kitab Bustanussalatin ini sangat penting sebagai sumber penulisan sejarah Aceh yang mengisahkan tentang Sultan Iskandar Thani, Taman Raja yang dibangun sejak masa Sultan Iskandar Muda.
Ada beberapa kitab tasawuf yang dikarangnya berisi hujatan dan kecaman pada Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-Sumatrani. Peranan Ar-Raniri cukup besar dalam pembentukan tardisi keilmuan yang bercorak ortodoksi di Nusantara. Usaha pembaharuan Ar-Raniri tidak berlangsung lama karena reputasinya tergusur oleh murid dan pengikut Hamzah dan Syamsudin. Setelah Sultan Iskandar Thani wafat Nuruddin Ar-Raniri meninggalkan Aceh dan kembali nke tanah airnya. Namanya kini diabadikan pada sebuah Perguruan Tinggi Islam yaitu “Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniri”.
4.    Abdul Rauf al-Singkili
Abdul Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Singkili adalah seorang ulama besar Aceh yang terakhir. Ia lahir di Fansur, dibesarkan di Singkel, wilayah pantai Barat-Laut Aceh. Diperkirakan lahir tahun 1615 M. Ayahnya Syech Ali Fansuri masih bersaudara dengan Syech Hamzah Fansuri. Beliau menghabiskan waktunya selama 19 tahun untuk menuntut berbagai cabang ilmu Islam di Haramayn. Setelah selesai belajar berbagai macam ilmu agama ia kembali ke Aceh dan membaktikan dirinya di Kesultanan Aceh. Pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin Abdul Rauf ini diangkat sebagai Mufti kesultanan Aceh menjadi Qadhi Malikul Adil. Dalam kiprahnya beliau melanjutkan usaha pembaharuan yang pernah dirintis oleh Ar-Raniri. Tema sentral pembaharuannya diutamakan pada rekonsiliasi, dengan memadukan secara simponi tasawuf dan syariah. Kegagalan Ar-Raniri menentang menentang paham wujudiyah dilanjutkan oleh Abdul Rauf, tetapi tidak dengan jalan radikal. Beliau sangat bijaksana dalam menyikapi dua hal yang bertentangan dan tidak bersikap kejam terhadap mereka yang menganut paham lain. Beliau juga mengecam sikap radikal yang dijalani Ar-Raniri. Dengan bijaksana mengingatkan kaum Muslimin Nusantara bahwa jangan tergesa-gesa dan bahayanya menuduh orang lain sesat atau kafir.
Tarekat yang dijalankan Abdul Rauf adalah tarekat Syatariyah karena mengikuti dan telah mendapat ijazah dari gurunya Ahmad Al-Qusyasyi, sehingga nama beliau tercantum pada silsilah Syatariyah di Aceh. Bahkan nama Qusyasyi begitu dikenal dan melekat di daerah Sumatera dan Jawa, bahkan tarekat Syatariyah ini dalam naskah-naskah tertentu disebut tarekat Qusyasyiyah.
Abdul-rauf ini aktif menulis karya-karya keagamaan yang membahas masalah fikih, ilmu kalam, tasawuf dan tafsir.
Karya-karyanya antara lain:
–   Mir’atu ath-Thullab fi Tashil Ma’rifatil ahkam wasy-syar’iyah
–   Umdatul Muhtajin ila suluki Maslah al-Mufridin
–   Kifayat al- Muhtajin ila Suluk Maslak Kamal al-Tahbir
–   Li’l Malik al-Wahhab
–   Turjumun al- Muwahhidin al-qaili bi Wahdah al- Wujud
Ulama Abdul Rauf ini seorang yang giat mengembangkan pemikiran dan penyebaran Islam dan banyak mencetak murid-murid yang juga memainkan peranan penting dalam penyebaran islam di berbagai daerah, sehingga menyebabkan jangkauan pengaruh Aceh sangat luas. Di dalam kiprahnya mengajarkan dan mengembangkan agama Islam terus dilakukan, di dayahnya bernama Rangkang Teunku Syiah Kuala di Pantai Kuala, yang merupakan salah satu dayah/rangkang yang banyak menghasilkan ulama-ulama yang berkwalitas sebagai penerusnya. Antara lain muridnya yang terkenal adalah Syech Burhanuddin dari Minangkabau yang turut berkiprah menyebarkan agama Islam di Minangkabau. Syech Abdul Rauf meninggal dan dimakamkan di kuala raya Desa Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh.
Ketika terjadi bencana gempa dan tsunami di Aceh, makam ini rusak ringan dan kedua nisannya dalam keadaan patah lelah. Kemudian oleh pihak Yayasan Yamsika telah melakukan perbaikan dengan cara mengecor nisan tersebut lalu dipasangkan pada jirat makam. Hal itu dilakukan secara sepihak tanpa ada koordinasi sebelumnya dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Banda Aceh dan instansi terkait lainnya. Sehingga tindakan ini telah menyalahi dari prinsip teknis pemugaran, dan perlindungan cagar budaya sebagaimana telah diatur dalam undang-undang nomor 11 tahun 2011 tentang cagar budaya.
Beberapa tokoh ulama telah memainkan peranan penting dalam Penyebaran Islam masa awal di Aceh dan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam dunia Islam. Mereka telah berjuang dan berkiprah dalam usaha memperkenalkan nilai-nilai Islam dan benar-benar mengajak masyarakat untuk melakukan syariat Islam dengan menyampaikan ajaran-ajaran ortodoksi (ajaran yang berpeganghanya kepada Al-Qur’an dan As-Sunah). Dengan melalui karya-karya kitab yang disusunnya, dan dalam bahasa sastra yang indah sehingga pengamalan nilai-nilai ajarannya dengan mudah dipahami oleh masyarakat pada saat itu.





BAB III
PENUTUP
1.    Kesimpulan
Berdasarkan beberapa pembahasan di atas, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
Pertama, pemikiran Islam pada zaman Nabi Muhammad Saw, masih murni karena mendasar pada Rasulullah Saw. Pada periode ini tidak ada perselisihan pendapat dalam dasar-dasar ataupun kaidah-kaidah teologis. Pemikiran ini kemudian disebarkan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya. Pemikiran pada fase ini masih murni, hal ini dikarenakan pemikiran Islam tersebut hanya bersumber pada al-Qur’an dan Rasulullah, pemikiran Islam fase ini disandarkan pada kemurnian akhlak Rasulullah dan utamanya wahyu.
Kedua, pengembangan pemikiran dan peradaban Islam dalam sejarahnya pernah mengalami distorsi pemaknaan sehingga hubungan keduanya mengalami hambatan dan berjalan tidak harmonis. Peradaban Islam mengalami hambatan perkembangan khususnya pada masa pertengahan sebagai akibat tidak berkembangnya ilmu pengetahuan di kalangan pemikir Islam, dan peradaban ditandai dengan peperangan dan pemusnahan sesama negara Islam karena pertentangan pemikiran dan dominasi kekuasaan dalam alam pikir penguasa.
Ketiga, sejarah perkembangan pemikiran dan peradaban Islam baik masa klasik dan pertengahan, mempunyai pengaruh amat besar pada peradaban-peradaban sesudahnya. Kemajuan pemikiran dan peradaban Islam pada masing-masing wilayah dan dinasti pada umumnya karena dipengaruhi kecintaan pemerintah ataupun pengikutnya pada ilmu pengetahuan.
Keempat kejayaan dan kebesaran ulama- ulama tersebut kini dapat disaksikan sebagai saksi sejarah dengan masih adanya pusara/makam-makam di Banda Aceh dan di Kota Subulussalam. Tinggalan-tinggalan sejarah tersebut harus tetap dilindungi, dijaga dan dirawat agar dapat dilestarikan kepada generasi mendatang, sebagai cagar budaya







DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Yusri Abdul Ghani, Historiografi Islam; dari Klasik hingga Modern, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004.
Abdurrahman, Dudung, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos, 1999.
Al-Buthy, Muhammad Sa’id Ramadhan, Sirah Nabawiyah Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW, Jakarta: Robbani Press, 2010.
Al-Faruqi, Ismail Raj’i, Tauhid, terjemahan Rahmani Astuti, Bandung: Pustaka, 1982.
Al-Khaththath, Muhammad, dalam www. hatulislam. wordpress. com/2007/01/29/ mengadopsi-pemikiran-islam/, Penulis, diakses 30 Mei 2016.
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010.
Bakri, Syamsul, Peta Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011.
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Hasan, Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2006.
Hitti, Philip K, History Of Arabs, terjemah R Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002.

Penulis : Saputra Wildan