Perkembangan Pemikiran Dalam Islam

 
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Menurut Nourouzzaman Shiddiqie dalam Samsul Munir Amin, mengatakan bahwa sejarah berjalan dari masa lalu, ke masa kini, dan melanjutkan perjalanannya ke masa depan. Dalam perjalanan sesuatu unit sejarah selalu mengalami pasang naik dan pasang surut dalam interval yang berbeda-beda. Di samping itu, mempelajari sejarah yang sudah berjalan cukup panjang akan mengalami kesulitan-kesulitan jika dibagi ke dalam beberapa babakan di mana setiap babakan merupakan satu komponen yang mempunyai ciri-ciri khusus dan merupakan satu kebulatan untuk satu jangka waktu. Rangkaian inilah yang dinamakan periodesasi sejarah
Sejarah mencatat kondisi kebesaran Islam berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, di mana pada waktu itu dunia Islam menjadi kiblat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia.  Sejarah merupakan catatan peristiwa yang terjadi di masa lampau. Dengan belajar sejarah, dalam hal ini sejarah kebudayaan atau peradaban Islam berarti mengenal kembali segala peristiwa yang terjadi dan dialami umat Islam baik berupa perkembangan, kemajuan maupun kemundurannya. Kajiannya berarti menyangkut peristiwa-peristiwa dan kejadian yang terjadi pada masa lalu (everything in the past), baik menyangkut dimensi sosial, politik, pemerintah, ekonomi, seni budaya maupun agama.
Sejak awal perkembangannya, Islam tumbuh dalam pergumulan dengan pemikiran dan peradaban umat manusia yang dilewatinya dan karena terlibat dalam proses dialektika yang di dalamnya terjadi pengambilan dan pemberian. Dari kebudayaan Arab, Islam telah mengambil dan lebih tepatnya dikatakan memelihara dan mengembangkan beberapa hal seperti sistem moral, tata pergaulan dan hukum keluarga, serta sistem politik pun diambil dari kebudayaan Arab. Sebaliknya, Islam memberikan kemungkinan bagi sastra Arab untuk berkembang mengatasi perkembangannya pada masa sebelumnya Al-Qur’an dan al-Sunnah memberikan perubahan yang nyata bagi bangsa Arab dan bangsa-bangsa yang memeluk Islam pandangan dunia, tujuan hidup, peribadatan dan sebagainya yang kemudian merupakan bagian utama dari pemikiran dan peradaban Islam. Itu semua didukung oleh kreativitas umat Islam sendiri yang memang diberi ruang yang luas untuk bergerak


B.    Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut :
1.    Apa Pengertian Definisi Pemikiran Islam
2.    Bagaimana Pemikiran Tokoh Sebelum Abad 20 dan Sesudah Abad 20
3.    Bagaimana Pemikiran Tokoh Islam di Aceh
 
C.    Tujuan
Tujuan yang ingin kami peroleh dari pembuatan makalah ini adalah :
1.    Untuk mengetahui definisi dari perubahan sosial dalam masyarakat.
2.    Untuk  mengetahui pendapat para ahli tentang perubahan sosial.
3.    Untuk mengetahui tipe-tipe perubahan sosial.
4.    Untuk mengetahui perubahan sosial yang terjadi di lingkungan.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Definisi Pemikiran Islam
Suatu definisi yang benar haruslah memenuhi kriteria jaami 'an dan maani 'an. Maksudnya menyeluruh (jaami 'an) bagi seluruh bagian-bagian dan sifat-sifat dari sesuatu yang didefinisikan, dan mencegah (maani 'an) masuknya makna asing ke dalam sesuatu yang didefinisikan. Berdasarkan hal itu maka dipilihiah pengertian berikut untuk pemikiran Islam, yakni bahwa pemikiran Islam adalah al hukmu 'alaa al waaqi' min wijhati nazhar il islaam (hukum/penilaian terhadap suatu fakta berdasarkan sudut pandang Islam).
Unsur-unsur pemikiran Islam itu ada tiga, yakni fakta (al waaqi'), hukum (al hukmu), dan hubungan antara fakta dengan hukum. Fakta itu sendiri dapat berupa suatu benda dan dapat berupa perbuatan. Jika fakta itu berupa benda maka hukumnya ada dua macam, yakni mubah (halal) dan haram. Misalnya buah anggur yang hukumnya mubah dan khamer yang hukumnya haram. Ada sebuah kaidah syara' yang diambil dari nash-nash Al Quran dan al hadits: “Hukum asal setiap benda adalah mubah, sampai datang dalil yang mengharamkannya”. Sedangkan jika fakta itu berupa perbuatan, maka hukumnya ada lima, yakni fardhu (wajib), mandub (sunnah), mubah, makruh dan haram. Misalnya puasa Ramadhan hukumnya wajib, shadaqah hukumnya sunnah (mandub), makan roti mubah, berbicara di WC makruh dan riba itu haram.
Definisi Pemikiran Islam
Unsur-unsur pemikiran Islam itu ada tiga, yakni fakta (al waaqi'), hukum (al hukmu), dan hubungan antara fakta dengan hukum. Secara etimologi pemikiran dari kata dasar “pikir” yang berarti proses, cara, atau perbuatan memikir, yaitu menggunakan akal budi untuk memutuskan suatu persoalan dengan mempertimbangkan segala sesuatu secara bijaksana. Pemikiran juga bisa diartikan sebagai upaya cerdas dan proses kerja akal dan kalbu untuk melihat fenomena dan berusaha mencari penyelesaiannya secara bijaksana.  
Bahasa Inggrisnya pula ialah think (thougt), perkataan berfikir kini digunakan secara meluas. Dasar perkataan fikir berasal dari perkataan Arab ‘fakkara’, ‘yufakkiru’, ‘tafkiran’.  Sebahagian ahli bahasa mengatakannya daripada wazan ‘dharaba’ yaitu ‘fakara’, ‘fakiru’, ‘fakran’ atau ‘fikran’. Jelasnya perkataan fikir berasal daripada perkataan ‘al-fikr’. Dalam al-Quran, perkataan fikir tidak disebut dalam bentuk kata nama. Tegasnya dalam al-Quran, perkataan fikir disebut dalam bentuk fi’il madhi (perbuatan yang telah lepas) dan mudhari’ (perbuatan yang sedang dilakukan), sighah mukhatab dan ghaib (kata ganti diri kedua dan ketiga). Misalnya fakkara dan tatafakkarun.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “pikir”artinya akal budi; ingatan; angan-angan, sedangkan pemikiran adalah cara atau hasil berpikir.  Sementara itu, menurut M. Abdul Karim kata “pikir” berasal dari Bahasa Arab “fakkara” yakni amal ‘aqla fiihi, wa rattaba ba’dha ma ya’lamu, liyahshila ila al-majhul artinya mempergunakan daya akal terhadap sesuatu, mengatur sebagian yang sudah diketahui.  Lebih lanjut M. Abdul Karim mengatakan bahwa pemikiran dalam pengertian yang tersebar di kalangan ilmuwan atau cendikiawan dibagi dua golongan besar. Pertama, pemikiran secara eksoteris, yaitu pemikiran yang diarahkan ke dunia luar (diluar dirinya) atau istilah falsafi pemikiran dari mikrokosmos ke arah makrokosmos secara mendalam, bebas, dan teliti tanpa terikat pada ajaran-ajaran ataupun dogma dengan tujuan untuk memperoleh keyakinan yang nyata-nyata tentang obyek yang menjadi pemikiran. Kedua, pemikiran secara esoteris, yaitu pemikiran yang ditujukan ke arah bagian terdalam dalam dirinya (pemikiran esensi).
Sementara itu, menurut M. Abdul Karim, pemikiran Islam ialah kegiatan manusia dalam mencari hubungan sebab akibat ataupun asal mula dari suatu materi ataupun esensi serta renungan terhadap suatu wujud, baik materinya maupun esensinya lebih lanjut M. Abdul Karim, mengatakan selama pemikiran yang diupayakan setiap pemikir muslim, dalam bidang apa pun (theologi, ibadah, politik, etika, filsafat, mistik, ekonomi, dll), berada dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Sunnah Nabi, maka pemikiran tersebut dapat disebut pemikiran Islam.
Dengan demikian pemikiran Islam adalah pemikiran yang berjiwa Islam, yakni pemikiran yang berlandaskan al-Quran dan al-Hadis. Al-Quran merupakan kitab suci umat Islam yang diturunkan melalui wahyu Allah kepada Nabi Muhammad Saw, sedangkan Hadis adalah sabda, perbuatan, dan ketetapan (takrir) Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh sahabat untuk menjelaskan dan menentukan hukum Islam.

B.    Pemikiran Tokoh Sebelum Abad 20 dan Sesudah Abad 20
Di abad 650-1250 M Islam meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan melalui Persia sampai ke India di Timur. Daerah-daerah itu tunduk kepada kekuasaan Khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di Damaskus dan terakhir di Baghdad.
Periode klasik ini dimulai dengan periode peletakan pondasi peradaban oleh Nabi Muhammad saw yang kemudian diteruskan oleh khulafaur rasyidin dan dikembangkan era daulah (dinasti) Bani Umayyah. Dalam mendeskripsikan sejarah penyebaran Islam periode khilafah awal, maka analisis weberian dianggap cukup relevan. Max Weber menekankan bahwa faktor ide atau gagasan atau pemikiran merupakan faktor yang sangat menentukan adanya perubahan sosial.       Dalam konteks ini, ide-ide yang terkandung dalam al-Qur’an mempengaruhi struktur sosial kemasyarakatan dan membentuk struktur baru. Kehadiran Nabi Muhammad dengan nilai-nilai baru telah mempengaruhi struktur sosial masa itu hingga dewasa ini. Bahkan, tatanan dunia secara keseluruhan tidak dapat dilepaskan dari gagasan-gagasan yang terinspirasi dari al-Qur’an yang dibawa Nabi. Ide-ide atau gagasan pemikiran itu tentunya baru terlihat memiliki arti sosial jika sudah diwujudkan dalam berbagai pergumulan dan perubahan budaya. Dari proses inilah, kemudian peradaban Islam muncul sebagai peradaban baru dalam kancah dunia internasional. Kehadiran Nabi Muhammad membawa perubahan dalam tatanan sosial masyarakat Arab. Ide dan gagasan Nabi yang tersurat dalam al-Qur’an menjadi inspirasi untuk menuju tatanan kehidupan yang lebih mapan dan beradab. Pengaruh nilai dan moralitas al-Qur’an yang dibawa Nabi termanifestasi dalam sejarah dan peradaban Islam. Sejak mendapatkan wahyu langit dalam ‘uzlah (pengasingan) di gua Hira’ tahun 610 M., Nabi Muhammad mulai berbicara atas nama Allah swt. dan memproklamirkan Islam sebagai agama Tauhid untuk kemaslahatan umat manusia dan rahmat bagi alam semesta. Sejak inilah Nabi mulai membentuk sebuah komunitas masyarakat keagamaan dalam ikatan semangat tauhid. Nabi Muhammad mulai mendapatkan perlawanan dan tantangan keras dari masyarakat paganisme di Mekkah dan dianggapnya sebagai orang yang terserang penyakit syaraf, gila dan sebagainya. Nabi Muhammad dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah suku Quraisy Mekkah, tetapi reformasi teologi, reformasi kultural, dan reformasi sosial yang dibawanya berdasarkan wahyu Allah, dianggap memiliki peran penting dalam membangun tatanan sosial-politik dan tradisi kaum Quraisy.
Komunitas tauhid yang dibangun awalnya hanya terdiri dari segelintir orang yang kemudian disebut dengan generasi muslim awal (al-sabiqun a;-awwalun). Generasi muslim awal ini didominasi oleh kalangan muda. Hal ini secara historis-empiris menunjukkan bahwa ajaran yang dibawa Nabi bersifat reformatif dan counter terhadap tradisi yang stagnan sehingga diikuti oleh kalangan muda. Dalam paradigma sejarah peradaban dan politik, kalangan muda sering diartikan sebagai representasi kalangan kritis, dinamis, dan anti status quo.     Selain itu, hijrah Nabi dan umat Islam yang masih berjumlah sedikit dari Mekkah ke Madinah juga memberikan kontribusi penting dalam proses pembentukan peradaban. Hijrah berdampak positif bagi perkembangan kegiatan intelektual umat Islam. Mereka lebih leluasa untuk mengembangkan pengetahuannya sebagaimana yang memang ditekankan oleh Nabi dalam berbagai hadisnya. Ekspansi yang dilakukan oleh pemegang estafet pemerintahan selanjutnya Khulafa’ Al-Rasyidin, Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah secara garis besar memiliki peranan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Menurut Ibnu Khaldun, pertumbuhan dan perkembangan ilmu yang amat terkait erat dengan luasnya wilayah dan beragamnya budaya maupun ilmu yang ada di daerah-daerah yang dikuasai Islam.  Secara pasti, ekspansi Islam menyebabkan terjadinya kontak antara Islam dengan kebudayaan Barat, atau tegasnya dengan kebudayaan Yunani Klasik yang terdapat di Mesir, Suria, Mesopotamia dan Persia.
Pada era klasik ini metode berfikir rasional, ilmiah dan filosofis berkembang dengan pesat. Sentuhan estetika dan filsafat telah menghantarkan peradaban Islam pada puncak kejayaan. Ulama’-ulama’ mujtahid bermunculan, begitu juga para ilmuwan muslim telah menghasilkan karya-karya seni, filsafat dan ilmu pengetahuan secara mengagumkan.
Di masa Bani Abbas inilah perhatian kepada ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani memuncak terutama di zaman Harun Al-Rasyid (785-809 M) dan Al-Ma’mun (813-833 M). Buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat didatangkan dari Bizantium dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kegiatan penterjemahan buku-buku ini berjalan kira-kira satu abad. Bait Al-Hikmah, yang didirikan Al-Ma’mun, bukan hanya merupakan pusat penterjemahan tetapi juga akademi yang mempunyai perpustakaan. Di antara cabang-cabang ilmu pengetahuan yang diutamakan dalam Bait Al-Hikmah ialah ilmu kedokteran, matematika, optika, geografi, fisika, astronomi, dan sejarah di samping filsafat.  Maka kemudian muncul beberapa ilmuwan muslim terkenal dan menjadi kebanggaan dunia Islam seperti; Al-Fazari (Abad VII) sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun Astronomi (alat yang dahulu dipakai untuk mengukur tinggi bintang-bintang dan sebagainya; Al-Fargani (di Eropa dikenal dengan sebutan Al-Fragnus) adalah pengarang ringkasan tentang ilmu astronomi; Dalam bidang optika, Abu Ali Al-Hasan Ibn Al-Haytham (Abad X) terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata yang mengirim cahaya kepada benda yang dilihat. Menurutnya, bendalah yang mengirim cahaya ke mata dan karena menerima cahaya itu, mata bisa melihat benda yang bersangkutan. Dalam bidang Kimia, Jabir ibn Hayyan (w. 813 M) dikenal sebagai bapak Kimia. Abu Bakar Zakaria Al-Razi (w. 925 M) adalah pengarang buku besar tentang kimia yang baru dijumpai di abad XX dan juga penemu di bidang ilmu kedokteran dan farmasi. Di zaman ini pula lahir ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ibn Hambal dalam bidang hukum; Imam Asy’ari, Imam Al-Maturidi, pemuka-pemuka Mu’tazilah seperti Wasil Ibn ‘Ata’, Abu Al- Huzail, Al-Nazzam, dan Al-Zuba’i dalam bidang teologi; Dzunnun Al-Mishri, Abu Yazid Al-Bustami dan Al- Hallaj dalam mistisisme atau tasawwuf; Al- Kindi, Al- Farabi, Ibn Sina dan Ibnu Miskawih .
C.    Pemikiran Tokoh Islam di Aceh
Sumber-sumber sejarah tentang kegitan islamisasi di Nusantara ini sangat sedikit, dan secara keseluruhan catatan-catatan sejarah tentang pengislaman di dalam literatur dan tradisi melayu masih simpang siur dan beragam keterangannya. Oleh karena itu, banyak hal-hal yang sukar terpecahkan sehingga sejarah di Nusantara banyak yang bersifat perkiraan. Mencari ketepatan kapan masuknya Islam ke Nusantara sangat sulit. Menentukan masuknya Islam di Nusantara biasanya dikaitkan dengan kegiatan perdagangan antara dunia Arab dengan Asia Timur. Banyak yang memperkirakan bahwa kontak antara Nusantara dengan Islam terjadi sejak abad ke- 7 Masehi. Dalam seminar Sejarah Masuknya Islam yang berlangsung di Medan tahun 1963 yang dikukuhkan lagi dengan seminar Sejarah Islam di Banda Aceh tahun 1978 menyimpulkan bahwa masuknya Islam ke Nusantara abad ke-1 Hijriyah langsung dari tanah Arab. Di samping itu ada juga yang berpendapat bahwa Islam masuk pada abad ke- 13 Masehi.
Ada satu persoalan lain yang menjadi perdebatan dan sulit dipastikan adalah persoalan dimana Islam pertama sekali masuk. Ada yang mengatakan di Jaya, dan ada yang mengatakan di Barus, namun demikian ahli sejarah sependapat bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui pesisir Sumatera Utara, yaitu melalui Samudera Pasai (Aceh).
Sebagaimana yang terjadi di daerah-daerah lain di Asia Tenggara, Islam tersebar di Nusantara melalui tiga metode, yaitu pengislaman oleh pedagang Muslim melalui jalur perdagangan yang damai, oleh para da’i yang datang ke Indonesia, dan dengan melalui kekuasaan. Pengislaman yang dilakukan oleh para pedagang terjadi sejak kontak paling awal antara Islam dengan daerah-daerah pesisir pantai Sumatera Utara. Pantai Sumatera Utara merupakan pesinggahan saudagar-saudagar Muslim yang menuju ke asia Timur melalui Selat Malaka. Mereka yang singgah di pesisir Sumatera Utara membentuk masyarakat muslim. Tidak tertutup kemungkinan di antara mereka menjalin hubungan perkawinan dengan penduduk pribumi atau menyebarkan Islam sambil berdagang, sehingga lama kelamaan penduduk setempat memeluk Islam.
Kegiatan pengislaman berikutnya dilakukan oleh ulama-ulama yang turut dalam kapal-kapal dagang. Mereka mempunyai tujuan khusus untuk menyebarkan Islam. Tome Pires, yang pernah mengunjungi Pasai, menceritakan dalam bukunya Suma Oriental bahwa banyak orang Moor tersebut, (istilah dalam bahasa Portugis untuk menyebut orang-orang yang terusir dari bumi Spanyol) dan di Filipina orang-orang Islam disebut bangsa Moro, yang menebar islam dan muncullah (ulama) yang berusaha keras dan mendorong Raja Pasai (Meurah Silu) masuk Islam. Pernyataan masuk Islam seorang raja mempunyai nilai tersendiri bagi proses islamisasi. Tidak lama setelah itu, keislamannya akan diikuti oleh rakyat, dan berikutnya dilakukan penyebaran Islam melalui pemakluman perang terhadap kerajaan-kerajaan yang kafir.
Menurut A. Hasyimy, kerajaan Islam pertama di Sumatera Utara adalah Kerajaan Perlak yang muncul pada abad ke-9 Masehi. Kerajaan Perlak mempunyai pengaruh keislaman bagi daerah-daerah di sekitarnya. Banyak ulama Perlak yang berhasil menyebarkan Islam ke luar Perlak, misalnya sekelompok Da’i Perlak dapat mengislamkan raja Benua. Para ulama Perlak, tokoh-tokoh, pemimpin, dan keluarga raja Perlak banyak yang pindah ke lingga setelah penyerangan Sriwijaya, sehingga mereka membentuk masyarakat Muslim di sana dan dengan demikian maka berdirilah kerajaan Islam Lingga. Selain Perlak kerajaan Islam yang terpenting di Sumatera Utara adalah Samudera . Sumber-sumber Cina menyebutkan bahwa pada tahun 1282 kerajaan kecil Samudera telah mengirim duta-duta dengan nama muslim.
Samudera merupakan daerah kecil yang terletak di muara Sungai Peusangan dan mempunyai peranan penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Selain itu Samudera menjadi pusat pengembangan pengetahuan agama, dimana teolog-teolog, ahli ilmu kalam, yang datang dari Arab dan Persia, sering melakukan diskusi tentang teologi dan mengkaji kajian Islam di istana sultan. Reputasi Samudera kemudian beralih ke Pasai dan menjadi pusat keilmuan. Upaya islamisasi terus digiatkan sehingga Pasai memiliki pengaruh keislaman yang kuat dan menjadi pusat tamaddun Islam di saat itu. Kerajaan Pasai mengalami kemunduran diakhir tahun 1521 dimana terjadi penyerangan oleh Portugis. Sultan Ali Mughayatsyah sebagai sultan Kerajaan Darussalam pada masa itu membantu Pasai menggempur Portugis dan merampas wilayah Pasai.Kemudian mempersatukan dengan kerajaan Darussalam sehingga memproklamirkan menjadi Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1524.
Pasca leburnya Samudera Pasai ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam membuat Aceh tampil sebagai kekuatan yang menyeluruh dan terpadu baik di bidang politik, maupun ekonomi, bahkan di bidang pemikiran islam mulai abad 16 sampai abad 18 dan puncak kejayaannya berlangsung pada abad ke- 17. Kejayaan dan kemajuan yang dicapai oleh Aceh menyebabkan berdatangan ulama-ulama dari Arab, Persia atau India menjalin hubungan demi pengembangan keilmuan di Aceh. Di Aceh telah lahir ulama-ulama besar yang membaktikan diri mereka dalam renungan dakwatul islam sehingga lahirlah khazanah keilmuan dan wacana intelektual keagamaan. Semua itu membuat Aceh patut diperhitungkan dalam “peta pemikiran Islam di Nusantara. Mekar dan maraknya pemikiran keagamaan menjadikan Aceh pusat keilmuan Islam di Nusantara, sehingga banyak orang Islam dari berbagai daerah di Nusantara datang ke Aceh untuk belajar kepada ulama-ulama besar Aceh. Murid-murid yang belajar ke Aceh nantinya kembali ke daerah masing-masing, untuk menyebarkan Islam, ilmu bahkan tarekat.. Mereka merupakan anak panah penyebaran Islam dan tradisi keilmuan yang berkembang di Aceh. Selain itu kedudukan Aceh sebagai persinggahan jamaah haji Indonesia telah menjadikan Aceh posisi istimewa bagi penyebaran dan perkembangan ilmu pengetahuan dan pengajaran agama Islam. Kehadiran jemaah haji di Aceh sambil menunggu pemberangkatan ke Haramain sering dimanfaatkan untuk belajar ilmu keagamaan.
Tokoh Ulama-ulama Aceh dan Karyanya
Untuk melihat pengaruh Aceh dalam keagamaan dan keilmuan di Aceh, Berikut ini akan dijelaskan secara singkat figur ulama-ulama Penyebar Islam di Aceh dan buah karyanya serta peran mereka dalam pengembangan keilmuan di Nusantara.
1.    Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri adalah seorang ulama dan sufi besar pertama di Aceh. Beliau adalah penulis produktif yang menghasilkan karya risalah keagamaan dan juga prosa yang sarat dengan ide-ide mistis. Selain itu aktif menulis karya-karya tentang tasawuf pada paruh ke dua abad ke- 16. dan menguasai bahasa Arab, bahasa Parsi, disamping juga menguasai bahasa Urdu. Paham tasawuf yang dibawanya adalah Wujudiyah. Kepopuleran nama Hamzah Fansuri tidak diragukan lagi, banyak pakar telah mengkaji keberadaan Hamzah yang sangat popular lewat karya-karyanya yang monumental. Namun mengenai dimana dan kapan persisnya Hamzah lahir, sampai saat ini masih menjadi pertanyaan dan perbedaan pendapat para ahli sejarah. Hal itu disebabkan karena belum terdapat catatan yang pasti tentang hal tersebut. Satu-satunya data yang dapat dihubungkan dengan tempat kelahiran Hamzah adalah Fansur, yang merupakan suatu tempat yang terletak antara Sibolga dan Singkel. Dari sebutan namanya Hamzah Fansuri, yang berarti Hamzah dari Fansur, yang menunjukkan bahwa Hamzah memang berasal dari Fansur yang merupakan pusat pengetahuan Islam lama di Aceh bagian Barat Daya. Hal yang sama dikatakan oleh Francois Valentijn bahwa Hamzah Fansuri seorang penyair Melayu termasyhur yang dilahirkan di Fansur (Barus) sehingga negeri tersebut terkenal dikarenakan syair-syair Melayu gubahannya. Namun menurut Syech Muhammad Naguib Al-Attas berpendapat bahwa Hamzah lahir di Syahrawi, Ayuthia Ibukota Siam lama hal ini didasarkan pada syairnya :
“Hamzah asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Syahrawi
Beroleh khilafah ilmu yang ‘adil
Daripada Abdul Qadir Sayid Jailani”
Dalam hal ini pada bait ke dua mendapat wujud di tanah Syahrawi dipahami sebagai Hamzah lahir di sana. Namun pendapat L.F. Brekel, Drewes mengatakan bahwa wujud dalam bait kedua itu diartikan bahwa Hamzah hendak mengatakan di syahrawilah dia bertemu dengan Tuhan. Artinya hamzah memulai mempelajari tarekat Wujudiayah. Kontroversi mengenai tempat kelahiran Hamzah seorang ulama besar ini memang tidak akan pernah selesai, karena data yang ada masih dipertentangkan dan belum ada yang akurat, hanya berdasarkan perkiraan-perkiraan yang dikait-kaitkan dengan karya-karyanya. Hamzah fansuri diperkirakan hidup dan berkiprah sebelum dan selama pemerintahan Sultan Alaiddin Ali Ri’ayatsyah Saidil Mukammil (1588-1604). Kraemer berpendapat bahwa Hamzah hidup pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat syah Almukammil sampai masa awal Iskandar Muda, atau paling tidak hingga tahun 1620 M.
2.    Syamsudin al-Sumatrani
Sufi besar yang muncul di Aceh sesudah Hamzah Fansuri ialah Syamsudin Al-Sumatrani, atau yang juga dikenal sebagai Syamsudin Pasai karena berasal dari Pasai. Sebagai penulis risalah tasawuf dia lebih produktif daripada pendahulunya itu. Banyak mengarang kitabnya dalam bahasa Melayu dan Arab. Syamsudin Pasai ini seorang ulama dan sangat disayangi sultan Iskandar Muda, sehingga ia diangkat sebagai pembantu dekatnya, Seorang pelawat Eropa yang berkunjung ke Aceh mengatakan bahwa Syamsudin sebagai bishop yang berarti seseorang mempunyai kedudukan tinggi di istana Aceh. Di samping itu ia seorang ahli politik dan ketatanegaraan seperti Bukhari al-Jauhari pengarang kitab Tajul al-Salatin.
Dalam penulisan sastra, peranan Syamsudin terutama dalam upayanya mengembangkan kritik sastra secara hermenuitika sufi (ta’wil) yang telah berkembang sejak abad 11 M. Karyanya yang menggunakan metode ta’wil ini tampak dalam risalahnya yaitu Syarah Ruba’I Hamzah Fansuri.Ta’wil merupakan metode penafsiran sastra yang melihat teks puisi sebagai ungkapan kata-kata simbolik dan metaforik yang maknanya berlapis-lapis (makna lahir, makna bathin, dan makna isyarah atau sugestif). Bahasa Melayu yang digunakan Syamsudin dalam karyanya tidak jauh berbeda dari bahasa Melayu yang digunakan penulis kitab sastra dalam abad 17-19 M.
Karya-karyanya antara lain adalah:
-. Mir’at al-Mukminin (Cermin orang beriman),
– Jauhar al-Haqaiq (Permata Kebenaran),
– Kitab al-Haraka,
– Mir’at al-Iman,
– Kitab al-Martaba (Martabat manusia),
– Mir’at al- Muhaqqiqin,
– Syarah Ruba’I Hamzah fansuri,
– Thariq al-Salihin, dan lain-lain.
Ajaran yang dibawa Syamsudin ini berakar pada pada ajaran Ibnu ‘Arabi dan menganut faham martabat tujuh yang diperoleh dari Al-Tufah al- Mursalah ila Ruhin Nabi, karya Muhammad Fadhlullah al-Burhanpuri dari India. Sultan Iskandar Muda sangat tertarik dengan ajaran tasawuf yang dibawa oleh Syamsudin Pasai sehingga beliau termasuk salah seorang pengikut faham wujudiyah. Sejumlah karyanya yang dipersembahkan untuk sultan Iskandar Muda antara lain Kitab Thariq al-Salihin dan Nur al-Daqaiq. Syamsudin Pasai meninggal dunia pada tahun 1630 M. bertepatan dengan Armada Aceh mengalami kekalahan di Malaka.



3.    Nuruddi Ar-Raniri.
Ulama dan sastrawan ini berasal dari Ranir, lahir pada tahun 1568 M. di sebuah kota pelabuhan di pantai Gujarat.  Ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadhramaut. Sedangkan ibuya adalah seorang Melayu. Ar-Raniri lebih dikenal sbagai ulama besar Melayu-Indonesia daripada India dan Arab. Karena sejak kecil sudah tertarik dan senang mempelajari bahasa melayu, sehingga tumbuhlah ia menjadi seorang yang sangat mencintai dunia Melayu. Iapun telah mengabdikan dirinya demi kepentingan Islam di Nusantara dengan mendapat kepercayaan dari seorang sultan pada kesultanan Aceh. Hatinya sangat tertarik dengan dunia Melayu. Setelah beberapa lama menimba ilmu ke Timur Tengah, ia berangkat ke Aceh pada tahun 1637 M. dan mendapat kepercayaan dari sultan Iskandar Thani, sebagai Syaikhul Islam. Setelah mendapat posisi yang kuat di Aceh, Ar-Raniri kemudian melancarkan pembaharuan Islam dengan radikal. Ia menentang paham Wujudiyah yang dibawa oleh Hamzah Fansuri dan Syamsudin Al-Sumatrani. Ar-Raniri menuduh mereka berdua telah sesat dan menyimpang dari ajaran Islam. Orang-orang yang menolak melepaskan keyakinannya yang sesat akan dibunuh, dan banyak buku/kitab-kitab Hamzah Fansuri dibakar.
Dalam pembaharuannya, Ar-Raniri memperkenalkan corak keilmuan dan wacana keagamaan yang baru. Meskipun ia juga seorang penganut Wujudiah dan pengikut Ibnu ‘Arabi, namun dalam menafsirkan ajaran wujudiyah ia ketat bertolak pada syariat dan fikih. Paham wujudiyah yang dianutnya tidak hanya penekanan pada tasawuf saja, tetapi juga menjelaskan kepada kaum Muslim Nusantara dasar-dasar keimanan, aturan-aturan fikih, perbandingan agama, pentingnya hadis, serta sejarah. Untuk menjelaskan semua itu, ia menerjemahkan dan menyusun kitab-kitab yang membahas berbagai macam pengetahuan dan sastra sesuai dengan kondisi umat Islam-pada saat itu. Karya-karyanya cukup banyak lebih dari 40 kitab antara lain :
-Sirat- al-Mustaqim (Jalan Lurus), merupakan kitab fikih yang pertama dan lengkap ditulis dalam bahasa melayu.
-Daral al- Faraid, membahas tentang tauhid dan falsafah keimanan.
-Lata’ih al-Asrar,
-Hall al-Dzill ma’a Sahabihi,
-Umdat al- I’tiqad,
-Hujaj al-Sidiq,
-Jauhar al-‘Ulum,
-Ma’al Hayat, dan lain-lain.
-Bustanus al-Salatin, (Taman Para Raja), nama lengkapnya kitab ini adalah Bustanu al-Salatin fi al-Awwaliin wa al-Akhirin. Kitab ini disusun atas permintaan Sultan Iskandar Thani, yang berisi masalah ketatanegaraan dan sejarah. Kitab ini merupakan penyempurnaan dari kitab Tajul al-Salatin (Mahkota Raja-raja) yang dikarang oleh Bukhari Al-Jauhari. Kitab Bustanussalatin ini tidak hanya membahas tentang ketatanegaraan, sejarah saja tetapi juga memuat eskatologi, dan berbagai persoalan lain yang berkaitan dengan fikih, tasawuf dan usuluddin. Karena tebalnya kitab ini sampai kini tidak diterbitkan secara utuh, hanya bagian bab demi bab saja diterbitkan dalam buku terpisah. Kitab Bustanussalatin ini sangat penting sebagai sumber penulisan sejarah Aceh yang mengisahkan tentang Sultan Iskandar Thani, Taman Raja yang dibangun sejak masa Sultan Iskandar Muda.
Ada beberapa kitab tasawuf yang dikarangnya berisi hujatan dan kecaman pada Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-Sumatrani. Peranan Ar-Raniri cukup besar dalam pembentukan tardisi keilmuan yang bercorak ortodoksi di Nusantara. Usaha pembaharuan Ar-Raniri tidak berlangsung lama karena reputasinya tergusur oleh murid dan pengikut Hamzah dan Syamsudin. Setelah Sultan Iskandar Thani wafat Nuruddin Ar-Raniri meninggalkan Aceh dan kembali nke tanah airnya. Namanya kini diabadikan pada sebuah Perguruan Tinggi Islam yaitu “Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniri”.
4.    Abdul Rauf al-Singkili
Abdul Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Singkili adalah seorang ulama besar Aceh yang terakhir. Ia lahir di Fansur, dibesarkan di Singkel, wilayah pantai Barat-Laut Aceh. Diperkirakan lahir tahun 1615 M. Ayahnya Syech Ali Fansuri masih bersaudara dengan Syech Hamzah Fansuri. Beliau menghabiskan waktunya selama 19 tahun untuk menuntut berbagai cabang ilmu Islam di Haramayn. Setelah selesai belajar berbagai macam ilmu agama ia kembali ke Aceh dan membaktikan dirinya di Kesultanan Aceh. Pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin Abdul Rauf ini diangkat sebagai Mufti kesultanan Aceh menjadi Qadhi Malikul Adil. Dalam kiprahnya beliau melanjutkan usaha pembaharuan yang pernah dirintis oleh Ar-Raniri. Tema sentral pembaharuannya diutamakan pada rekonsiliasi, dengan memadukan secara simponi tasawuf dan syariah. Kegagalan Ar-Raniri menentang menentang paham wujudiyah dilanjutkan oleh Abdul Rauf, tetapi tidak dengan jalan radikal. Beliau sangat bijaksana dalam menyikapi dua hal yang bertentangan dan tidak bersikap kejam terhadap mereka yang menganut paham lain. Beliau juga mengecam sikap radikal yang dijalani Ar-Raniri. Dengan bijaksana mengingatkan kaum Muslimin Nusantara bahwa jangan tergesa-gesa dan bahayanya menuduh orang lain sesat atau kafir.
Tarekat yang dijalankan Abdul Rauf adalah tarekat Syatariyah karena mengikuti dan telah mendapat ijazah dari gurunya Ahmad Al-Qusyasyi, sehingga nama beliau tercantum pada silsilah Syatariyah di Aceh. Bahkan nama Qusyasyi begitu dikenal dan melekat di daerah Sumatera dan Jawa, bahkan tarekat Syatariyah ini dalam naskah-naskah tertentu disebut tarekat Qusyasyiyah.
Abdul-rauf ini aktif menulis karya-karya keagamaan yang membahas masalah fikih, ilmu kalam, tasawuf dan tafsir.
Karya-karyanya antara lain:
–   Mir’atu ath-Thullab fi Tashil Ma’rifatil ahkam wasy-syar’iyah
–   Umdatul Muhtajin ila suluki Maslah al-Mufridin
–   Kifayat al- Muhtajin ila Suluk Maslak Kamal al-Tahbir
–   Li’l Malik al-Wahhab
–   Turjumun al- Muwahhidin al-qaili bi Wahdah al- Wujud
Ulama Abdul Rauf ini seorang yang giat mengembangkan pemikiran dan penyebaran Islam dan banyak mencetak murid-murid yang juga memainkan peranan penting dalam penyebaran islam di berbagai daerah, sehingga menyebabkan jangkauan pengaruh Aceh sangat luas. Di dalam kiprahnya mengajarkan dan mengembangkan agama Islam terus dilakukan, di dayahnya bernama Rangkang Teunku Syiah Kuala di Pantai Kuala, yang merupakan salah satu dayah/rangkang yang banyak menghasilkan ulama-ulama yang berkwalitas sebagai penerusnya. Antara lain muridnya yang terkenal adalah Syech Burhanuddin dari Minangkabau yang turut berkiprah menyebarkan agama Islam di Minangkabau. Syech Abdul Rauf meninggal dan dimakamkan di kuala raya Desa Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh.
Ketika terjadi bencana gempa dan tsunami di Aceh, makam ini rusak ringan dan kedua nisannya dalam keadaan patah lelah. Kemudian oleh pihak Yayasan Yamsika telah melakukan perbaikan dengan cara mengecor nisan tersebut lalu dipasangkan pada jirat makam. Hal itu dilakukan secara sepihak tanpa ada koordinasi sebelumnya dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Banda Aceh dan instansi terkait lainnya. Sehingga tindakan ini telah menyalahi dari prinsip teknis pemugaran, dan perlindungan cagar budaya sebagaimana telah diatur dalam undang-undang nomor 11 tahun 2011 tentang cagar budaya.
Beberapa tokoh ulama telah memainkan peranan penting dalam Penyebaran Islam masa awal di Aceh dan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam dunia Islam. Mereka telah berjuang dan berkiprah dalam usaha memperkenalkan nilai-nilai Islam dan benar-benar mengajak masyarakat untuk melakukan syariat Islam dengan menyampaikan ajaran-ajaran ortodoksi (ajaran yang berpeganghanya kepada Al-Qur’an dan As-Sunah). Dengan melalui karya-karya kitab yang disusunnya, dan dalam bahasa sastra yang indah sehingga pengamalan nilai-nilai ajarannya dengan mudah dipahami oleh masyarakat pada saat itu.





BAB III
PENUTUP
1.    Kesimpulan
Berdasarkan beberapa pembahasan di atas, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
Pertama, pemikiran Islam pada zaman Nabi Muhammad Saw, masih murni karena mendasar pada Rasulullah Saw. Pada periode ini tidak ada perselisihan pendapat dalam dasar-dasar ataupun kaidah-kaidah teologis. Pemikiran ini kemudian disebarkan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya. Pemikiran pada fase ini masih murni, hal ini dikarenakan pemikiran Islam tersebut hanya bersumber pada al-Qur’an dan Rasulullah, pemikiran Islam fase ini disandarkan pada kemurnian akhlak Rasulullah dan utamanya wahyu.
Kedua, pengembangan pemikiran dan peradaban Islam dalam sejarahnya pernah mengalami distorsi pemaknaan sehingga hubungan keduanya mengalami hambatan dan berjalan tidak harmonis. Peradaban Islam mengalami hambatan perkembangan khususnya pada masa pertengahan sebagai akibat tidak berkembangnya ilmu pengetahuan di kalangan pemikir Islam, dan peradaban ditandai dengan peperangan dan pemusnahan sesama negara Islam karena pertentangan pemikiran dan dominasi kekuasaan dalam alam pikir penguasa.
Ketiga, sejarah perkembangan pemikiran dan peradaban Islam baik masa klasik dan pertengahan, mempunyai pengaruh amat besar pada peradaban-peradaban sesudahnya. Kemajuan pemikiran dan peradaban Islam pada masing-masing wilayah dan dinasti pada umumnya karena dipengaruhi kecintaan pemerintah ataupun pengikutnya pada ilmu pengetahuan.
Keempat kejayaan dan kebesaran ulama- ulama tersebut kini dapat disaksikan sebagai saksi sejarah dengan masih adanya pusara/makam-makam di Banda Aceh dan di Kota Subulussalam. Tinggalan-tinggalan sejarah tersebut harus tetap dilindungi, dijaga dan dirawat agar dapat dilestarikan kepada generasi mendatang, sebagai cagar budaya







DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Yusri Abdul Ghani, Historiografi Islam; dari Klasik hingga Modern, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004.
Abdurrahman, Dudung, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos, 1999.
Al-Buthy, Muhammad Sa’id Ramadhan, Sirah Nabawiyah Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW, Jakarta: Robbani Press, 2010.
Al-Faruqi, Ismail Raj’i, Tauhid, terjemahan Rahmani Astuti, Bandung: Pustaka, 1982.
Al-Khaththath, Muhammad, dalam www. hatulislam. wordpress. com/2007/01/29/ mengadopsi-pemikiran-islam/, Penulis, diakses 30 Mei 2016.
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010.
Bakri, Syamsul, Peta Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011.
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Hasan, Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2006.
Hitti, Philip K, History Of Arabs, terjemah R Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002.

Penulis : Saputra Wildan

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »